Belajar dari Do Not Finish Rinjani100, saya berusaha menyelesaikan apa yang sudah saya mulai
Hampir gak pernah saya ikut race 2 kali, jadi
finisher di tempat yang sama. Tapi Mantra Summit Challenge alias MSC ini beda. Kalau tahun 2019 yang lalu
saya ikut kategori 55 km, kali ini saya coba menikmati serunya kategori 119 KM. Alasannya? pengen menikmati keindahan Arjuno, Welirang, Lincing dan Mahapena di saat matahari cerah.
Oiya buat yang belum tau, MSC adalah even lari lintas alam alias trail run yang diadakan komunitas Malang Trail Runners. Gunung yang menjadi rute lari MSC adalah kompleks Welirang Arjuno yang dimulai dari Kaliandra Eco Resort Prigen (dekat dengan Taman Safari Prigen).
Kapan lagi, naik gunung, gak bawa carrier, makan disediain, rute di kasih marka, finish dikasih medali sama hoddie, dan yang terpenting, di fotoin sama fotografer kereen
 |
Naik kereta lebih cihuy |
Menikmati Kaliandra Yang Megah
Kaliandra, salah satu resort yang sangat megah di Prigen, Jawa Timur. Lokasinya tepat berada di kaki Arjuno Welirang. Rute perjalanan saya ke Kaliandra (sangat tidak efisien)
1. Kereta Sembrani Tambahan (Gambir - Stasiun Surabaya Pasar Turi)
2. Gojek (Stasiun Surabaya Pasar Turi - Stasiun Surabaya Gubeng)
3. Kereta Dhoho (Stasun Surabaya Gubeng - Stasiun Porong)
4. Gocar (Stasiun Surabaya Porong - Kaliandra)
Btw Kaliandra ini yayasan yang bergerak di bidang perkebunan, ada banyak tanaman sayur di sekitar venue. Saya sempat beli es krim rasa sayuran di sini.
 |
Tenda tempat saya bermalam sebelum race |
Saya bermalam area Kaliandra sebelum memulai
race keesokan paginya. Bukan di resortnya ya tapi di tenda dome di bawah pohon beringin yang sangat besar. Banyak banget burung merak yang dipelihara tapi dibiarkan hidup liar terbang kesana kemari, terkadang teriak dengan suara lengkingan khasnya yang super kenceng.
Panorama 360 di Kaliandra
 |
Selalu grogi kalau udah foto di depan profil kategori |
Sebelum berlari, saya mempersiapkan amunisi supaya petualangan di Arjuno Welirang nanti menyenangkan.
 |
Peralatan wajib yang harus dibawa, karena saya ikut kategori 116, saya harus bawa semuanya |
 |
Aplikasi Orux Map + Rute GPX yang sudah warna warni, merah artinya menanjak, biru artinya menurun. Navigasi ini bisa bekerja walau HP dalam kondisi tanpa sinyal seluler |
Peta Kategori 116 Km
 |
Profil Elevasi Rute 116 KM. Ini penting supaya kita bisa manajemen waktu. Profil ini sudah tersedia di nomor BIB |
Kaliandra ke Puncak Welirang - Serasa Berada Di Dunia Lain
 |
Fotoan dulu di Rumah Kolonial Kaliandra Resort bersiap sebelum mengembara 116 km. |
Jam, 4 pagi saya siap siap memakai
mandatory gear atau perlengkapan wajib yang dibawa selama lari. Start tepat pukul 05:00 WITA. Kebiasaan saya ketika berada di garis start adalah selalu berada di paling belakang peserta.
 |
Selalu paling belakang kalau waktu start |
Sama seperti pengalaman ikut MSC tahun 2019, saya manfaatkan betul tenaga yang masih penuh untuk sampai puncak Welirang sesegera mungkin. Kalau 3 tahun lalu kondisinya tengah malam start, kali ini saya bisa melihat pemandangan jalur Welirang dengan jelas.
 |
Kondisi Arjuno Welirang dari Bangil pada Sabtu pagi, di waktu yang sama saya masih berjuang sampai ke Puncak Welirang (foto : Nizar)
|
 |
Asli, capek banget euy |
 |
Perjalanan menuju Puncak Welirang |
 |
pukul 08.51 akhirnya saya sampai di Puncak Welirang
|
 |
Yok geser ke Arjuna, bisa bisa |
Pemandangan di Puncak Welirang keren banget, serasa ada di dunia lain dengan asap dan aroma belerang yang berseliweran. Jalur mendekati puncak Weliring agak berbatu lepas tapi relatif aman. Gelang pertama saya dapat di sini.
 |
Ayo cepat turun, keburu panas |
Dari puncak Welirang tampak berderet puncak Kembar 1, Kembar 2 dan diujung timur berdiri gagah Puncak Arjuna yang harus saya lewati sesegera mungkin. Oiya kayaknya Check Point (CP) puncak Welirang agak beda dengan tahun 2019. Tahun ini benar benar di titik tertingginya Welirang, sementara tahun 2019 agak ke bawah di lembahan.
Welirang ke Cangar - Tenaga Yang Tiba-Tiba Lenyap
Setelah berhasil muncak Welirang, saya langsung menuju lembah Sadelan yang berada di antara Puncak Kembar 1 dengan Puncak Kembar 2. Di kalangan pendaki, tempat ini dikenal dengan nama Lembah Lengkehan. Lembah ini merupakan pertigaan jalur 116 km dengan jalur lainnya. Banyak pendaki yang berkemah disini. Peserta kategori 116 km harus menuruni jalur pendakian Sumber Brantas sampai di Cangar yang masuk wilayah Batu. Setelah itu, balik lagi ke Lembah Sadelan melalui jalur yang sama, ngeselin bukan? 😂 Sampai ada pendaki yang bilang,
mas sampean waras to? Gak ono masalah sing gedi to?
Di jalur menurun ini saya meluncur lumayan cepat karena konturnya berupa tanah. Tapi harus tetap hati-hati karena di beberapa titik ada akar pohon yang siap menjatuhkan siapapun kalau tidak hati-hati. Di jalur ini ada beberapa lubang yang mengeluarkan uap panas, seger banget rasanya.
Jalur trail akhirnya memasuki jalan raya Mojokerto - Malang. Rute aspal ini mengelilingi kawasan Cangar. Saya sempatkan pula beli stroberi 2 bungkus untuk menemani perjalanan menuju WS Cangar yang ada di pertigaan.
 |
gak sabar pengen makan jeruk manis lagi 😁 |
 |
Menikmati buah di WS Cangar yang panasssss |
Di WS Cangar saya tiba pukul 11:05. Saya bertemu dengan Om Franky, teman IG yang ternyata jadi panitia.
Tidak lama-lama di WS saya melakukan pendakian lagi menuju lembah Sadelan lewat jalur yang sama. Entah kenapa tenaga saya drop banget. Bahkan saya sering disalip pendaki lain yang menggunakan carrier. Saking lemesnya, saya sering berhenti buat istirahat. Beberapa pendaki menawari saya makanan 🫰. Kemungkinan besar rasa lemas ini karena saya belum sarapan berat, ditambah saya terlalu banyak makan buah di WS (jeruk, stroberi dan coca cola). Untungnya masih ada persedian snack & energi bar di tas. Langsung saya habiskan saat itu juga.
Menuju Puncak Arjuna, Berusaha Sebelum Senja
Sekitar jam 14:18 sore saya tiba kembali di lembah Sadelan. Selanjutnya adalah menuju titik tertinggi MSC yaitu Puncak Arjuno. Beranjak dari Sadelan, jurang dalam menghampar di sebelah kiri jalan jangan pernah tidak fokus di titik ini meskipun tali marka cukup jelas. 3 km dari lembah Sadelan, mata harus waspada karena ada pertigaan jalur kategori 35 km ke arah kiri tanpa ada penjaga dari panitia. Perjuangan menuju puncak Arjuna tidak akan pernah mudah. Tanjakannya sangat menguras tenaga meski tidak terlalu teknikal.
 |
Pertigaan jalur kategori 35 KM dengan Kategori 116, 75, dan 55. Harus fokus karena tidak ada yang menjaga (sumber gambar) |
Saya berusaha agar sampai di puncak Arjuna sebelum gelap. Saya bareng peserta kategori 116 km lain, Mas Wigih temen di IG yang juga sering ikut acara trail run. Saat itu langit mulai tertutup awan. Suara angin berhembus kencang, ditambah dengan rimbunnya hutan pinus, suaranya menjadi lebih mengerikan. Menjelang Puncak Arjuno perlahan matahari mulai menampakan dirinya di ujung barat. Asli indah banget. Puncak Arjuno mulai terlihat dan tenda tempat check point sudah semakin dekat. Saya tiba di check point Puncak Arjuna jam 16:21.
 |
Menjelang Puncak Arjuna, muka udah gak karuan
|
Sama seperti tahun 2019 check point puncak Arjuna tidak berada di titik tertinggi Arjuno (Puncak Ogal Agil). Berhubung waktu terus berjalan, saya lebih memilih langsung menuju Budug Asu daripada ke Puncak Arjuna hanya untuk foto foto.
Arjuno ke Budug Asu - Bener Bener Misuh Asu
Hari sudah mulai gelap, awan kembali menutupi langit Arjuna. Perjalanan turun ke Budug Asu melewati turunan terjal. Saya masih bareng mas Wigih & tambah satu lagi peserta kategori 116 km Mas Derly. Gerimis mulai turun. Tidak perlu waktu lama untuk menjadi hujan lebat. Awalnya saya memberanikan diri tidak mengunakan jas hujan, tapi nyerah juga. Kesalahan besar saya adalah tidak membawa topi. Untuk orang yang berkaca mata seperti saya, topi sangat berguna melindungi kacamata dari air hujan. Alhasil kacamata saya buram sepanjang jalur downhill itu.
Berikut gambaran rute
downhill Arjuno Budug Asu dari
Instagram MSC116.
Ketika saya lewat tempat ini, sudah dalam keadaan gelap.Jalur turunan menuju Budug Asu adalah ilalang yang dirobohkan, sangat sangat licin. Sudah tidak terhitung berapa kali saya jatuh kepleset. Kacamata yang saya pakai sering buram karena embun nafas maupun air hujan. Dosa saya semakin banyak disini karena setiap jatuh saya langsung teriak ASUUUU. Mungkin ini alasannya dinamakan Budug Asu 😄.
Video jalur
downhill menuju Budug Asu berupa ilalang yang dirobohkan dari
Bang Taufik Hidayat beliau peserta kategori 75 km. Ketika saya lewat tempat ini, sudah dalam keadaan gelap.
Berbagai macam gaya berjalan sudah saya coba. Mulai dari merangkak, ngesot, sampai saya meluncur seperti orang yang menggunakan jetski, jongkok, lalu manfaatkan track pole buat mendayung. Semak ilalangnya luar biasa tinggi. Untungnya marka reflektor masih terlihat jelas memantulkan cahaya head lamp. Jalurnya panjaaang sekali gak ada habis habisnya.
Budug Asu ke UB Forest - Masih Misuh Asu
Setelah turunan padang ilalang, sampai juga saya di sungai berbatu. Artinya sebentar lagi saya akan memasuk Budug Asu. Dari sungai itu, jalur kembali menanjak tapi sebentar saja. Dalam kegelapan malam jam 18:51, muncul sinar laser warna hijau. Panitia berteriak agar saya segera menghampiri untuk check point. Ternyata hanya pos check point yang makanan & minumannya terbatas, sementara WS Budug Asu berada 1,5 km ke arah UB Forest.
Sempat sekilas saya dengar jalur Budug Asu sampai Universitas Brawijaya Forest (UB Forest) sangat susah dilariin. Panitia mengingatkan saya kalau jalurnya licin. Dan benar, baru aja saya pamitan ke panitia buat lanjutin perjalanan, BRAAAACK, saya langsung kepeleset 😂. Ternyata, jalur sepanjang kurang lebih 13 km ini adalah jalur motor trabas yang ditengahnya cekung akibat roda dan terisi air. Mirip jalur Bromo Tengger Semeru (BTS) Ultra setelah tanjakan B29. Di tambah hujan deras, jalur ini semakin sulit buat dilalui. Padahal dengan elevasi yang cenderung flat, mau saya cicil buat lari supaya gak terlalu mepet Cut Off Time (batas waktu finish) tapi apa daya, saya dipaksa tetap bergerak dalam mode lambat.
Gila ini panitia MSC, batas waktu 35 jam untuk kategori 116 km kayaknya disetting buat musim kemarau keleus, bukan musim hujan!! Berharap ada pengumuman dadakan, Yaaaak, batas COT untuk kategori 116 km diundur sampai jam 5 sore. Hahaha sayangnya itu hanya kehaluan di tengah beceknya jalur ke UB Forest!!
.jpg) |
Percabangan kategori 75 km. Ketika saya lewat tempat ini, sudah dalam keadaan gelap. |
Di jalur menuju UB Forest ini saya harus hati hati karena ada percabangan kategori 75 km yang belok ke kiri. Percabangan ini tidak dijaga panitia. Suasana sangat sepi nyaris tanpa pemukiman warga. Di jalur ini saya mulai menyalip beberapa pelari lain, sampai akhirnya saya berjumpa dengan peserta kategori 116 KM, Mas Eri dan Mas Fauzi. Mas Fauzi kondisinya cedera ankle tapi tetap berusaha lanjut menuju WS UB Forest.
UB Forest ke Wonorejo - Mulai Pesimis
Sampai di UB Forest jam 22:52, hujan sudah reda, tapi udara dingin masih menusuk kulit. Pemandangan cahaya lampu kota Malang terlihat jelas, sesekali kilat masih terlihat, menampakan tubuh gunung Bromo dan Semeru di ujung timur.
 |
Seperti ini gambaran jalur UB Forest, perhatikan berkas ban motor, kondisi kemarin penuh air hujan & licin. Ketika saya lewat tempat ini, sudah dalam keadaan gelap. (Sumber) |
Di WS UB Forest saya ketemu lagi dengan Om Franky. Sajian kali ini cukup mewah dengan hadirnya bakso yang kuahnya hangat. Di tambah air jahe yang juga hangat. Benar-benar makan malam yang sangat luar biasa.
 |
inilah gunanya emergency blanket. walaupun baju celana basah, kalau udah pakai ini, pasti hangat. Hangatnya badan juga membuat baju yang basah tadi cepet kering |
 |
Di sebelah kanan adalah Mas Fauzi, podium Rinjani100 kategori 119 km, sayang sekali beliau memutuskan DNF di WS UB Forest |
Saya harus menyiapkan dengan baik etape berikutnya karena jarak menuju WS Wonorejo lumayan panjang, sekitar 19 km tanpa ada WS, dan ini adalah jarak antar WS terpanjang dalam sejarah saya lari 😒. Pelari harus sampai sebelum jam 5 pagi di WS Wonorejo. Dengan kondisi mental dan fisik yang lumayan capek, saya langsung bergegas meninggalkan WS UB Forest menuju WS Wonorejo. Sempat kepikiran akan over COT karena jalur yang licin dan berlumpur. Mas Fauzi memutuskan DNF di WS UB Forest karena cederanya takut makin parah.
 |
Bareng Om Eri selepas UB Forest |
Akhirnya saya jalan bareng Om Eri yang sangat pandai membuat perhitungan. Dengan kecepatan tertentu, beliau bisa memperkirakan kapan kami sampai di WS Wonorejo. Di tengah malam yang sunyi itu saya beruntung ada teman ngobrol. Berkali kali jalur kembali melewati UB Forest lalu keluar lagi, masuk lagi dan keluar lagi terus sampai Kebun Teh di Wonorejo. Karena melintasi beberapa perkampungan warga, saya pikir jalanan akan mulus lus,, ternyata tidak juga saudara-saudara. Bahkan saya harus tercebur ke dalam kubangan air hujan yang cukup dalam di tengah jalan, karena salah pijakan. Untung gak diketawain Om Eri 😂
Wonorejo naik Mahapena turun lagi Wonorejo - The Real Penyiksaan
Setelah keluar masuk hutan dengan jalanan yang sama sekali gak flat, saya dan Om Eri tiba di WS Wonorejo sekitar jam 4.16 pagi, 45 menit sebelum batas akhir waktu Cut Off WS Wonorejo. WS ini terletak di tengah-tengah kebun teh. Berkaca dari hilangnya tenaga saat nanjak dari Cangar ke Lembah Sadelan, saya makan popmie dan kentang rebus lumayan banyak. Dari Wonorejo, saya harus mendaki ke Puncak Mahapena lewat Bukit Lincing, lalu turun kembali melalui jalur yang sama, jam 10 pagi harus sudah sampai di Wonorejo kembali. Jarak pulang pergi sekitar 12 km dengan elevasi 1.100 meter 😖
Awalnya gak yakin bisa menempuh bukit setinggi itu dalam waktu 5 jam pulang pergi. Tapi, b
elajar dari Do Not Finish Rinjani100, saya berusaha menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Kalau gak finish pun ya kapan lagi bisa menikmati Mahapena.
Walaupun jarak ke Mahapena 6 km, pendakian bukitnya sendiri sebenarnya cuma 2 km, yang buat lama adalah jalur makadam melewati kebun teh. Saya sempat berpaspasan dengan para pelari awal. Mereka sudah putar balik dari Mahapena turun ke WS Wonorejo. Sampai di Pos 1 pendakian, saya diarahkan panitia menuju bukit Lincing terlebih dahulu.
Saya diteriakin sama pendaki yang lagi kemping kalau Mahapena itu ada di lapis ke 4 pendakian Bukit Lincing. Dalam hati, "Ah masa, perasaan cuma 1 aja"
Ternyata bener gaes, bukit itu bertingkat tingkat. Kirain sudah sampai puncak ternyata belum, masih ada rangkaian bukit di belakangnya. Saya meyakinkan diri bahawa mendaki Bukit Lincing ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan pendakian Nanggi pas Rinjani100 kemarin,
kamu harus bisa Wan, pasti bisa.
Pemandanganya asli indah banget, sampai di Puncak Lincing pas sunrise. Ada batu besar tempat biasa orang buat foto-foto. Tapi rasa capek, udah ngilangin mood buat foto-foto. Di jalur pendakian menuju Mahapena ini saya harus hati-hati karena jalurnya sempit, tanjakannya curam dan angin lumayan kenceng. Mirip seperti jalur dari Sempana ke Pusuk Sembalun pas Rinjani100 di Lombok. Pokoknya saya gak berani mandang ke arah depan apalagi ngeliat atas ke puncak Mahapena, pandangan saya hanya menunduk ke bawah, sambil menikmati angin yang berusaha masuk ke jaket windproof saya.
 |
Ini gambaran pendakian ke Puncak Mahapena, posisi sudah di Bukit Lincing, Mahapena ada di ujung sana 😁 (sumber : Instagram MSC116) |
Video pendakian Mahapena dari acara mantra_skyrace
Sampai di Mahapena saya kembali mendapatkan gelang. Saya sudah bisa sedikit rileks karena bisa mengamankan waktu. Turun dari Mahapena, jalur lari bergabung dengan peserta kategori 55 km yang juga sudah mulai turun dari Gunung Arjuno.
 |
Turun dari Mahapena saya dikawal sama Mas Redi kategori 55km. |
Karena malam hari sebelumnya hujan ditambah sudah banyak jejak pelari kategori 75 km + 55 km dan 116 km, saya lagi lagi harus
menikmati bahayanya jalur menuju WS Wonorejo. Tahun 2019 yang tanpa hujan saja, saya sering tergelincir, apalagi ini 😂.
Lucknut memang!!
 |
Perjalanan kembali ke WS Wonorejo melalui perkebunan teh |
Sampai di WS Wonorejo kembali saya langsung ganti celana menuju tantangan terakhir MSC, yaitu WS Mbah Kamad melalui Puthuk Lesung.
 |
Ketemu sama Om Ake peserta kategori 55 KM, temen waktu dinas di Lombok |
Wonorejo - Mbah Kamad - Puthuk Lesung - Kaliandra
Untungnya saya sempat
ikut kategori 55 km di tahun 2019. Jadi, perjalanan ke Puthuk Lesung terasa B aja,
Biasa Capeknya. Kalau dulu dalam hati dongkol banget lewatin tanjakan yang gak ada habisnya ini, sekarang lebih menikmati. Perjalanan dari gerbang Puthuk Lesung sampai puncak sekitar 3,5 km dengan tanjakan yang gak curam-curam amat tapi sangat puanjaaaaaaaaang. Para pelari biasanya sangat terlena dengan nikmatnya WS Kebun Teh Wonorejo dengan sajian makanan yang melimpah dan berpikir,
ah tinggal 25 km lagi, masih pagi, aman lah.
Jangan pernah berpikir seperti itu saudara-saudara. Jarak 25 km melewati Puthuk Lesung itu sangat melelahkan, menguras tenaga dan tentu saja waktu.
 |
Sesaat setelah meninggalkan Wonorejo, wajah udah Happy |
 |
ayo segera tinggalkan kebun teh, kita menuju Puthuk Lesung dan WS Mbah Kamad |
Dari Wonorejo WS selanjutnya adalah Mbah Kamad yang berjarak 14 km. Mbah Kamad adalah WS terakhir sebelum mencapai garis finish. Dalam perjalanan menuju Mbah Kamad, saya coba ngambil snack dari tas vest. Celakanya, setelah saya selesai bongkar vest dan sudah berjalan beberapa ratus meter, trackpole saya, ketinggalan. Saya balik lagi ke lokasi tempat bongkar vest tadi dan trackpole sudah gak ada. Ternyata dipakai main sama anak kecil buat jadi mayoret mayoretan drumband 😂. Karena sangat menikmati, saya ikhlaskan trackpolenya buat anak itu. Wes jupok wae dhek (dah ambil aja dek)
Saya sampai WS Mbah Kamad jam 12:08. Di sini hp saya tertinggal/hilang karena terburu-buru berangkat. Sampai di Puthuk Lesung saya baru sadar hp sudah gak ada di tas dan langsung lapor panitia. Selepas Puthuk Lesung, saya langsung turun sesegera mungkin ke Kaliandra dengan mood udah jelek karena HP Ilang.
 |
Sampai di Puthuk Lesung, Lapor om, HP Saya ilang nih di WS Mbah Kamad |
Masih berpikir keras, gimana caranya ngakalin tiket kereta, aplikasi banking, aplikasi ojek online yang semuanya ada di HP itu. Saking dongkolnya. bahkan turunan makadam pun saya lariin, udah gak peduli sama sakit di dengkul pokoknya 😄.
 |
Perjalanan 116 km cuma buat dapetin gelang gelang ini |
Saya finish sekitar jam 14.26 urutan ke 15 dari 38 peserta yang berangkat dari garis start. Akhirnya menjadi finisher di MSC ini benar-benar bisa ngobatin kekesalan DNF Rinjani100. Perjalanan sepanjang 116 km dengan elevasi 8000-an meter merupakan salah satu hal paling gila yang pernah saya lakukan 😓
 |
Kali ini sesuai jadwal |
 |
Bahagia bukan main
|
 |
masih gak percaya bisa menyelesaikan ini semua |
 |
Saya dan profil jalur perjalanan 116 km di belakang
|
 |
Foto bareng temen temen BPJS Kesehatan Runners, wajah masih seger |
Sampai di Kaliandra saya bertemu dengan rekan-rekan BPJS Kesehatan Runners. Saya diinfo hp saya sudah diamankan sama panitianya. Untung gak hilang, soalnya segala macam tiket, emoney, dan aplikasi yang saya butuhkan buat pulang ke Jakarta ada di situ semua. Terima kasih Buat Mas Sony, salah satu panitia di WS Mbah Kamad.
 |
Congrats untuk teman-teman BPJS Kesehatan Runners, ada yang podium 1, ada yang DNF, ada yang finish, semuanya adalah tentang petualangan dan pengalaman |
Untuk kategori 116 km sendiri, memang perlu strategi supaya bisa finish sebelum batas waktu. Latihan gak cukup cuma lari, tapi juga manajemen elevasi. Sebulan sebelum MSC, saya selalu naik tangga ke ruangan kerja saya di lantai 5. Saya beruntung, di MSC, The Big Boss nya alias puncak elevasi (puncak Arjuno dan Welirang) diselesaikan di awal ketika tenaga masih prima, sehingga setelahnya tinggal ngurusi The Little Boss nya saja (Lincing, Mahapena, Puthuk Lesung). Berbeda dengan Rinjani 100, The Big Bossnya muncul di kilometer akhir, sementara di awal energi udah dikuras The Little Bossnya yang gak little little amat (Anak Dara, Nanggi, Sempana, Gedong, Lincak dan Pos 2).
Saya sendiri menggunakan timeline yang diambil dari race result senior kantor saya, Mas Widho. Beliau pernah mengikuti kategori 116 km di tahun 2019. Dari race result Mas Widho, saya bisa tau jam berapa beliau tiba di setiap CP dan WS yang ada di kategori 116. Berhubung jalur MSC kategori 116 km tahun 2019 dan 2022 sama persis, saya harus disiplin dengan waktunya Mas Widho. Sialnya, di tahun 2022 ini MSC diwarnai hujan deras dan jalur makin sulit terutama setelah turun dari Arjuno, sempat molor sedikit waktunya, tapi saya harus tutup keterlambatan itu di pemberhentian berikutnya.
Kemudian,
Mandatory Gear adalah hal yang gak bisa ditawar-tawar lagi. Jangan pernah picik, menunjukan
mandatory gear yang lengkap ketika checking ke panitia, lalu menyimpan sebagian barang bawaan wajib itu di koper, supaya beban terasa jadi lebih enteng pas lari, BIG NO, ANDA CARI MATI. Di MSC tahun 2022 ini ada kejadian salah satu pelari kategori 116 km tersesat tapi bisa selamat karena membawa Mandatory Gear yang lengkap ketika lari. Cerita lebih lengkap soal pendaki tersesat ini dapat kalian simak lewat link ini
Pelari MSC 2022 tersesat. Bahkan saya membawa 2
emergency blanket buat berjaga-jaga dari cuaca gunung yang tidak terduga. Maklum, saya orang yang sangat sangat gak tahan sama cuaca dingin.
Emergency blanket ini cuma satu kali pakai, kalau sudah lecek, daya hangatnya udah gak ada lagi.
Berikutnya adalah nutrisi, rute 116 km, bukan rute yang kaleng kaleng. Manfaatkan makanan dan minuman di setiap WS. Masing-masing orang beda takarannya. Pastikan setiap pergerakan, vest mu tersedia snack dan air yang cukup. Tahun 2019, pernah kejadian di WS Lembah Sadelan, air habis yang disediakan panitia habis, dan banyak peserta kategori 75 km dan 116 km memutuskan untuk DNF.
Selanjutnya, aplikasi navigasi dan peta offline di handphone. Memang benar, marking MSC 2022 ini jelas. Tapi saya menemukan di jalur menjelang WS UB Forest hampir 2 km tidak ada marka. Entah markanya yang memang jarang, atau tersembunyi di antara ranting-ranting pohon, tapi sepengamatan saya, Om Eri dan Mas Fauzi benar-benar blank, padahal ada persimpangan juga. Untungnya saya dan Mas Fauzi ngecek rute GPX dari website MSC di aplikasi navigasi offline yang kami miliki, jalur dengan marka kosong itu benar menuju UB Forest. Gak asik banget, udah capek, masih harus dapet jackpot nyasar. Dari beberapa postingan IG teman-teman saya yang ikut MSC 2022 pun ada juga yang tersesat.
 |
MSC 2019, saya kategori 55 km dan Mas Widho kategori 116 km, kami finish dengan jeda waktu yang tidak terlalu jauh |
Arjuno Welirang selalu memberikan kesan tersendiri. Brutalnya rute, ekstrimnya cuaca dibalut keindahan alam & profesionalnya kru yang ada di balik layar. Bisa berlari di sini sangat menyenangkan, apalagi bisa menyelesaikan sebagai finisher, ada kebanggan tersendiri.
Btw, MSC adalah acara lari dengan koleksi foto saya yang paling banyak, serasa punya fotografer pribadi di setiap titik terindah Arjuno Welirang. Keren abis, salut buat para fotografer yang rela bersusah payah demi mengabadikan momen-momen terindah MSC 2022.
Dan inilah para fotografernya!! silakan klik profil IG Mereka
Run Somewhere Extraordinary
It is tough, it is difficult, it is not for everybody, but yet, it is beautiful
Berlari di tempat yang amat luar biasa. Terima kasih Mantra Summit Challange!!