Ring of Slamet : Mengelilingi Kaki Gunung Tertinggi Di Jawa Tengah

Ini bukan perjalanan biasa. Kamu akan melintasi belantara terbaik di Jawa Tengah, Gunung Slamet.


Butuh waktu empat bulan untuk meyakinkan diri, kalau saya mampu melintasi jalur keliling Gunung Slamet.

Route plan yang saya buat menggunakan Mapmyrun, rute keliling Slamet ini sekitar 120 km, melewati 5 kabupaten yaitu Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, Brebes dan kembali lagi di Banyumas. Titik start dan finish di Baturaden. 

Andalan kalau buat Route Plan, https://www.mapmyrun.com/

Jalur yang saya pilih sebisa mungkin dapat dilalui kendaraan yaa minimal roda dua. Jalurnya pun harus semepet mungkin dengan Gunung Slamet. Saya kroscek lagi lewat tampilan Street Viewnya Google. Setengah hari utak atik, akhirnya jadilah rute Ring of Slamet. Rencana berikutnya, bagaimana eksekusinya 

Kalau di Ring of Sindoro saya mampu sendirian, di Ring of Sumbing saya butuh marshall, maka di Ring of Slamet saya harus punya partner lari, tidak mungkin sendirian. Rutenya sangat panjang dan melewati daerah hutan. 

Rute Ring of Slamet ini agak berat, walaupun secara rock and rollnya masih lebih mending dari pada Gunung Sumbing. Ring of Sumbing nyaris gak ada trek datar, karena selalu melintasi lembahan antar kampung. Sementara Ring of Slamet masih terbantu dengan trek landai yang cukup panjang.

Berhubung saya hampir gak ikut komunitas lari manapun, agak susah juga cari temen lari yang cocok untuk rute sejauh ini, self support pula. 


Akhirnya keinget Fauzan, runner dari Pekalongan. Cuma masalahnya, anak ini durasi long runnya intens banget. Bahkan rencana dia ikut BandungUltra 100km. Takut kakinya, kurang rest aja. 

Begitu dapat info kalau dia batal Bandung Ultra, akhirnya coba saya ajak dia nemenin Ring of Slamet. Udah saya duga, dia pasti mau. Akhirnya deal di tanggal 27 September 2025. 

Oh ya sehari sebelum lari, arah rute saya ubah menjadi searah jarum jam. Artinya, rute yang tadinya Baturaden ke arah hutan Limpakuwus, saya ubah ke arah Kedungbanteng. Pertimbangannya adalah saya lebih suka finish dalam kondisi jalur menurun.

OTW Baturaden!!

Dari Jakarta saya naik Bus Sinar Jaya. Walaupun dikenal lelet, saya ngerasa Sinar Jaya adalah yang terbaik dengan harga yang murah. 170 ribu udah dapet kursi legrest. Bus saya sampai di Terminal Bulupitu Purwokerto jam 4.40 pagi. Setelah itu lanjut menggunakan Bus Trans Banyumas ke Baturaden. Untungnya Bus Trans Banyumas sudah mulai beroperasi di jam 4.30. Saya naik Jalur 3B turun di Halte Kebondalem, transit naik Jalur 2 turun di Terminal Baturaden. Pergerakan bus bisa dipantau secara realtime pakai aplikasi Mitra Darat. 

Trans Banyumas, solusi murah meriah kalau ke Baturaden

Dari Terminal Baturaden saya langsung ke lokasi kemping untuk mendirikan tenda di Camp Ground Dedamaran Baturaden. Tarif sewanya total 70 ribu per malam, termasuk charge dan toilet, bagi saya ini lumayan hemat apalagi pemandangan di sini juga bagus banget.

kemping dulu

tenda andalan

Saya dan Fauzan langsung ketemuan di Baturaden. Rencana awal kami start jam 12 siang, tapi berhubung Fauzan baru sampai di Baturaden jam 11 siang, saya undur startnya jadi jam 13. 

Mundurnya jadwal start ini jadi berkah buat kami, karena daerah Windujaya dan sekitarnya diguyur hujan deras. Andaikata kami start lebih awal, pasti kena guyur juga. 

Saatnya memulai petualangan ini

Pemandangan di sepanjang jalan penghubung antar desa kaki Gunung Slamet ini bagus bagus. Hutan dan persawahan tampak subur. Setiap melintasi jembatan, air yang jernih dan deras sangat menggoda buat terjun mandi. 

Pemandangan sawah

Gunung Slamet, sumber air pentingnya Jawa Tengah

Jembatan Kali Logawa di Sunyalangu, Banyumas

Melewati Telaga Kumpe di Cilongok, Banyumas, banyak yang mancing di sini

Oh ya saking bagusnya pemandangan sawah daerah Karang Gondang, kami sampai bablas ke jalur yang salah. jalurnya ternyata masuk pematang sawah dan offroad. Untung saja ada salah satu warga searah kami untuk pulang. Saya sampai bertanya ke beliau “Pak di depan sana masih ada perkampungan kan? hahaha saking paniknya karena saat itu hari sudah mulai gelap.
sempat nyasar di Jembatan Karang Gondang

jalurnya kadang seperti ini

Tidak semua jalur yang kami lewati sesuai ekspektasi. Di beberapa titik kami melewati jalan yang rusak dan makadam. Sementara kami berdua pakai sepatu road. Fauzan sampe nanya, "Mas jalur sebelah sini lebih enak kayaknya" langsung saya timpali, "Ingat Zan, rulesnya adalah pilih jalur yang mepet gunung, harus comply sama track log ya"

Tanjakan maut

Menjelang malam, waktunya mencari makanan berat. Sayangnya, karena melintasi perkampungan kecil, jarang ada warung makan yang buka. Untungnya di daerah Glempang Banyumas, kami menemukan Warung Nasi Goreng yang masih buka. Nasi gorengnya enak banget. Tapi karena porsinya kebanyakan, saya bagi dua buat dibungkus. Antisipasi kelaperan di jalur, karena pasti sampai daerah Kaligua udah tengah malam.
Penjual nasi goreng penyelamat perut kami

Memasuki Kabupaten Brebes rute menyatu dengan jalan raya Bumiayu-Purwokerto sejauh 2 km dengan elevasi 400an. Banyak bus besar dan truk melaju kencang sekali. Kami mampir ke Alfamart Winduaji untuk beristirahat dan membeli logistik karena 20 km ke depan kami akan memasuki fase terberat dari Ring of Slamet yaitu Paguyangan.. Supaya lebih aman sepanjang rute, kami selalu lari di sisi kanan jalan (lawan arus). 

Titik tertinggi Ring of Slamet ada di km 63 dengan elevasi 1.600an mdpl, artinya sepanjang 20 km kami akan menghadapi tanjakan dengan elevasi 1,200 meter.  Tanjakan beberapa titik di daerah Paguyangan sangat di luar nalar. Tapi anehnya banyak motor warga yang jenisnya matic hehehe. 

Di ujung jauh sana saya melihat cahaya berwarna merah di atas perbukitan. Kalau melihat titik tertinggi Ring of Slamet di 1.600an sih kayaknya bakalan ke sana. Tapi, ah gak mungkin, itu tinggi banget. 

Di daerah Wanatirta kami sempat mampir di sebuah rumah warga untuk beristirahat. Penghuninya bilang,  ini desa terakhir sebelum memasuki hutan dan jalurnya menanjak curam. Setelah itu akan memasuki kawasan Kaligua. Kami mulai tertatih-tatih efek dari tanjakan edan di Paguyangan tadi. 

Hutannya sepi banget, saya bersyukur lari kali ini gak sendiri. Karena kalau sendiri, 100% saya pasti udah mundur pas lewat hutan ini hahahaha.

Segmen ini benar-benar gak ada bonus turunan. Di Masjid Trerepan Pandansari kami beristirahat tidur kurang lebih 20 menit. Saya terbangun karena hawanya dingin sekali.

Sampai akhirnya di sekitar cagar alam Telaga Ranjeng elevasinya mulai melandai. Memasuki  perkampungan di Kaligua saya melihat tower dengan lampu merahnya. Asyeeeeem ternyata itu cahaya lampu yang saya lihat dari Paguyangan tadi, beneran lewat sini ternyata 😅😅. 

Memasuki kawasan kebun Igirklanceng, Sirempog, Brebes kami melewati jalur yang rusak. Banyak papan-papan bernada protes dari warga di sini kepada pemerintah. Intinya "KAPAN DALAN IKI DIPERBAIKI, OJO SURVEY-SURVEY TEROOOS"

Ternyata jalur lari kami sepanjang Kaligua ke Sirampog menyusuri perbukitan yang berada di atas pemukiman warga. Kami melihat pemandangan lampu-lampu pemukiman. Ada rasa kebahagiaan selepas melalui hutan dan perkebunan yang gelap lalu melihat lampu-lampu itu. Dan itu silih berganti sepanjang jalan. 

Tepat jam 6 pagi kami sampai di Basecamp Pendakian Guci Kompak. Kami istirahat tidur lagi, tapi kali ini kebablasan, satu jam 😅.  Saya langsung bangunin Fauzan supaya segera gas. Tapi kaki rasanya jadi nyeri banget buat melangkah. Ini wajar kalau abis istirahat, kaki bakalan 'kaget', so harus bertahap, stretching dulu, pakai buat jalan pelan, jalan cepat, dan lari lagi. Mungkin karena buru-buru, kami gak aware sama rute. Nyasar dua kali di sekitar gerbang wisata Guci hahaha.

dua kali salah jalur di Guci

Tempat istirahat kami selanjutnya adalah Indomaret Gambuhan. Indomaret memang lokasi istirahat favorit bagi kami karena mereka jual buah-buahan. Oh ya di Gambuhan ini saya langsung mengubah rute yang tadinya melewati Bambangan menjadi  lewat Pulosari, menyusuri jalan raya. Pertimbangan utama adalah banyak jalur ke Bambangan yang masih belum jelas bentuknya. Khawatir jalur yang kami lewati nanti rusak dan buntu, saya cek juga gak ada street viewnya juga. Ditambah kondisi Fauzan yang sering bilang kalau dia agak susah lewat jalur offroad karena pakai sepatu road.

Menghindari Bambangan 😔
Merah : plan route
Kuning : actual route

Jalur modifan ini full melintasi jalan raya dan menanjak konsisten 😑. Matahari sangat terik, gak ada satu awan pun. Panasnya bukan main. Saya mencoba cari toko yang jual topi tapi gak ada. Saya tanya di toko kelontong, toko bangunan, bahkan entah ngigau atau nggak, saya nanya ke yang jual buah-buahan juga gak ada (ya jelas lah dodol 😑) Akhirnya saya liat mas mas di konter hp pake topi, langsung saya datengin.

👶 : Mas topi mu tak bayar seket ya?
👷: Hah (masnya bengong)
👶 : Aku isih mlaku adoh mas tekan Baturaden lagi longmarch iki, ra ono sing dodol topi
👷: Pake ini aja mas gak papa buat sampean
👶 : Ndak mas, tak bayar ae, (sambil nyodorin duit seket ke bawah buku nota)
👷: Ngene wae, aku tak jaluk nomor mu ben ono kenang2an
👶 : Oke, nol lapan satu bla bla bla, makasih yo mas

Tiba-tiba muncul notifikasi gojek, gopaynya ke isi seket 😅

Topi mas mas pulsa 😅

Di sini saya mulai agak terpisah dengan Fauzan. Yang tadinya kami lari bareng, sekarang jadi tunggu-tungguan. Karena saya harus ngejar jadwal bis  ke Jakarta jam 5 dari Purwokerto.

Segmen favorit saya, Hutan Serang - Baturaden

Segmen terakhir favorit saya adalah kawasan Hutan Serang-Baturaden. Jalur sepanjang 16 km melewati hutan belantara dengan jalur aspal yang sebagian rusak sangatlah menyenangkan. Jalur ini adalah jalan pintas yang sering dipakai warga Purwokerto untuk berwisata ke Serang - Purbalingga. 

Love banget sama Hutan Serang-Baturaden

Makin semangat bentar lagi sampe

Oh ya menjelang finish, cuaca mendung, berkabut dan tiba tiba ada sambaran petir yang lumayan dekat dari tempat saya. Gara-gara ini saya langsung ngibrit secepat mungkin supaya segera sampai Gerbang Baturaden 😅.

Menjelang finish, jalanan yang tadinya aspal rusak, jadi aspal mulus.

Aspal sudah mulai mulus berarti sudah mendekati Kebun Raya Baturaden

Akhirnya saya bisa tuntaskan Ring of Slamet sejauh 128 km dengan waktu tempuh 26 jam 40 menit. Yang saya syukuri, saya bisa finish dalam kondisi sehat walafiat tanpa blister, tanpa cedera, tanpa kurang apapun. 
Dimana Fauzan? Hahaha sorry, Fauzan saya tinggal, karena saya harus sudah sampai di Terminal Bulupitu jam 17.30. Dia kena apes guyuran hujan,,, mantap lah Zan, semua jenis cuaca dapet 😀

Profil elevasi Ring of Slamet

Dengan selesainya Ring of Slamet ini berarti selesai sudah S3 saya, baik pendakian maupun mengelilingi Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet.

Ring of Slamet sudah jelas ya, bahwa rute 128 km ini memang bukan main-main. Di beberapa segmen, jarak antar pemukiman cukup jauh, misalnya jalur antara Serang ke Baturaden, sehingga keberadaan tim support, atau running buddy  harus ada, mengantisipasi hal hal yang tidak diinginkan. 

Mandatory gear layaknya event trail karena kami melintasi daerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. So pastikan bawa jaket windproof dan jas hujan. Sangat tidak direkomendasikan melintasi rute Ring of Slamet saat musim hujan karena risiko longsor yg tinggi.

Karena melintasi daerah pemukiman yang agak terpencil bersikaplah ramah terhadap warga sekitar. Jika bertemu sapalah mereka dengan senyum, dan kalau mereka tanya mau kemana, jawab saja dengan olahraga lari, long march atau istilah lain yang lebih familiar. 

Jam : Amazfit T-Rex Pro (2,3 jutaan)
Kaos : Jersey Rinjani100 yang udah bulug (200 ribuan)
Celana : 60 ribuan (embuh merk opo)
Kaos kaki : PDL TNI merk Target (30 ribuan)
Sepatu : Mills Dynaplates (400 ribuan)


Peta Ring Of Slamet 
Merah : Plan Route
Kuning : Actual Route
Download GPX Ring of Slamet

Cuplikan video Ring of Slamet

Komentar