Rasanya, yang 50 km ini jauh lebih berat dari 80 km tahun lalu. SLU selalu ada di bulan hujan, Desember. Mungkin ini daya tariknya, supaya gak panas menyengat,. Jika tahun 2023 lalu saya bisa ngebut di turunan jalur pendakian Candi Cetho, kali ini jalan biasapun sulit.
wajib foto di lembah Bulak Peperangan |
Race yang gak direncanakan
Sebetulnya gak ada niatan ikut Siksorogo 2024. Malah rencana mau mendaki biasa, kemping di Gupakan Menjangan sambil lihat pelari lalu lalang di Gunung Lawu. Berhubung ada teman yang berhalangan ikut kategori 50 km, beliau menawarkan ke saya slotnya, mumpung masih periode transfer BIB.
Akhirnya resmi lah saya jadi peserta SLU 2024 kategori 50 km. Hahahah, persiapannya asli mepet, buat nambah-nambah latian elevasi, sesekali saya sempatkan tektok gunung seperti Guntur, Sindoro, Sumbing menjelang event SLU di akhir November.
Yang baru dari SLU tahun 2024 ini adalah penggunaan aplikasi untuk administrasi para pelari mulai dari registrasi, informasi rute, download file gpx, bahkan sampai upload mandatory gears. Keren lah pokoknya.
Tampilan dari Aplikasi Siksorogo Lawu Ulra |
Hal baru lainnya adalah kategori 120 km dengan tambahan rute ke Wonomulyo, Telaga Sarangan, dan jalur pendakian Singolangu.
Membuat Rundown
Target saya finish di Sekipan adalah jam 17.37 menit 💥💥
Setelah dah dapet Strava nya, saatnya download GPXnya dan buat list WS dengan waktunya, pakai aplikasi mapsource |
inilah rundownnya, walaupun nantinya mleset tipis |
Insiden salah bawa jam tangan
Sehari sebelum berangkat, saya posisi masih di luar kota. Saya pesan ke orang rumah, kalau ada jam tangan warna merah, masukkan saja ke tas yang sudah saya packing. Sportwatch memang jarang saya gunakan kalau sedang gak olahraga. Ternyata jam yang dimasukan ke tas adalah jam bocil milik keponakan saya. Bentuknya jam robot yang memang berwarna merah. Di venue sebenarnya ada booth jam Coros, tapi mahal eeuy 😓
BTW smartwatch/HP yang bisa record gpx dan info elevasi tetep dibutuhkan ya, untung aja kecerobohan ini terjadi di Gunung Lawu yang saya paham betul medannya.
Malah bawa jam beginian |
Kemping di Sekipan, Tawangmangu
Sama seperti tahun lalu, saya memilih kemping di Sekipan, lokasi race centralnya Siksorogo. Dari Jakarta naik kereta ke Stasiun Balapan Solo, jalan kaki melewati Skybridge ke Terminal Tirtonadi, lanjut naik bus ke Tawangmangu, dan naik ojek ke Sekipan.
Kemping Syahdu di Sekipan |
Syahduuu |
Saatnya bertempur
Start kategori 50 km dimulai jam 7 pagi dan harus sudah finish jam 11 malam buat cowok, atau jam 12 malam buat cewek. Jumlah peserta saat itu mencapai 700 orang, bener bener meriah pokoknya. Seperti biasa, saya start di kelompok paling belakang.
Mandatory gears wajib ya gaes, sayangnya racepack tahun ini cuma dapet jaket windproof aja, gak dapet foldable cup |
Titik tertinggi Lawu ada di km 23 |
Peta rute 50 km yang harus saya hadapi paling lambat 16 jam |
Sekipan - Mongkrang
700 orang kategori 50 km sedang bersiap di garis start, saya ada di paling belakang hehhe |
Jam 7,, Lets Go |
Ada kejadian lucu pas saya sampai di jalur pendakian Mongkrang. Selepas WS 1, saya meminta ijin ke seorang pelari cowok buat mendahului dengan bahasa yang sopan "Permisi, crossing". Lah masnya dengan nada keras, "sabar mas, jalurnya sempit"
Anjaaay, baru kali ini saya diginiin, jalurnya memang setapak muat satu orang, tapi bukan yang kanan kirinya jurang. Maksud saya masnya bisa nepi sebentar aja di bagian berumput. Tapi tetep saya crossing juga sih akhirnya, walaupun sedikit nyenggol tangan masnya, haahha.
Singkat cerita sampailah di Bukit Mongkrang. Walaupun di tiktok berseliweran video orang-orang seluncuran di jalur Mongkrang karena licin, ternyata pas sampai di sana nggak ngalamin, masih aman buat dilwatin, dan bahkan bisa saya lariin tipis tipis.
Sampai juga di Mongkrang |
Akhirnya jam 9.44 saya sampai di WS Tlogo Dringo lebih cepat 16 menit dari jadwal. Batas COP di WS Tlogo Dringo adalah 5 jam, jadi pelari harus sudah sampai sini paling lambat jam 12 siang.
sudah mendekati Tlogo Dringo, laper banget pokoknya hahaha |
Di WS 2 Tlogo Dringo saya makan buanyak, soto nambah 2 kali, kacang ijo, ubi, singkong pokoknya banyak karena abis ini naik Lawu, buat yang bikin Soto, sumpah enak banget sotonya |
Naik Lawu gak perlu saya tulis lebih detail ya,, mirip di tulisan Berpetualang Sejauh 80 KM di Gunung Lawu - Siksorogo Lawu Ultra 2023 vibesnya sama aja sih (sama sama mletre 😅) kayak taun lalu cuma bedanya waktu uphillnya aja yang lebih awal.
Oh ya saya sempat kecele, karena menganggap WS besar ada di Pos 4 Cemoro Kandang kayak tahun lalu. Ternyata tahun ini WS adanya di Pos 3 Cemoro Kandang itupun dengan makanan yang gak terlalu variasi. Inilah pentingnya membaca rules dan information 🤣. Untung saya masih bawa ubi dan singkong rebus yang saya bungkus dari WS Tlogo Dringo. WS selanjutnya ada di Cetho, masih jauuuuh boss.
foto yang dapat berbicara, ini menjelang puncak Lawu |
Saya skip ke Puncak Lawu, nggak perlu buang waktu toh udah sering kesana. Skip juga ke Warung Mbok Yem,, perut masih lancar jaya (dah makan di WS 2 Tlogo Dringo dan bekal masih ada).
aaaah ini keren banget, beruntung sampai Gupakan Menjangan masih cerah |
Gupakan Menjangan |
foto wajib di lembah Sabana Bulak Peperangan |
CETHO SING RA CETHO
Sesuai judul, yang paling seru dari SLU tahun ini adalah turunan Jalur Candi Cetho, asliii hahaha. Dibandingkan tahun 2022 dan 2023, hujan di tahun 2024 lebih parah, nyaris tanpa henti. Dari Gupakan Menjangan sampai Pos 4 Cetho sebenernya masih aman karena belum hujan bahkan cenderung agak panas. Jalur downhil dari Puncak Lawu ke Cetho sekitar 9 km, yang membuat jalur pendakian ini salah satu yang terpanjang di Gunung Lawu
Jalur Downhill Candi Cetho, titik merah di kanan bawah adalah lokasi WS Candi Cetho |
Nah dari Pos 4 ke Pos 3 dan seterusnya ini yang paling menantang. Malah cenderung berbahaya. Karena gerimis udah mulai turun membuat jalur berlumpur dan licin. Banyak pelari yang kepeleset termasuk saya. Karena gak bawa trackpole, saya memaksimalkan kedua tangan buat memegang dahan atau akar supaya gak terjatuh. Inilah yang buat tangan saya kemarin banyak luka karena yang dipegang ternyata tanaman berduri, asli perih banget.
Karena downhillnya Sabtu sore, bertepatan dengan momen pendaki Lawu yang naik di jalur yang sama. Untungnya mereka sabar nunggu kami para pelari, bahkan selalu menyemangati kami dengan ucapan, "semangat mas, ati ati mas,,"makasih ya gaesss buat pengertiannya, walaupun gak tau isi hati kalian kek apa, hahaha.
Gak kebayang ya gimana perasaan pelari 120, 80, 50 kloter akhir, jalurnya udah diobrak abrik sama ratusan pelari & pendaki 👀
Sampailah saya di WS Candi Cetho. Lokasi WSnya berbeda dengan tahun lalu, kali ini persis di bawah Kompleks Candi Cetho. Pelari harus sudah sampai di WS Candi Cetho paling lambat jam 7 malam. Info yang saya dengar, banyak pelari yang kena batas waktu di Cetho, mungkin karena terhambat hujan di Puncak Lawu dan licinnya jalur Candi Cetho.
Candi Cetho |
Dari Candi Cetho saya melanjutkan sisa rute menuju Sekipan. Suara petir makin kencang terdengar dari arah Gunung Lawu. Untung saja saya sudah lewat Gunung Lawu, berharap semua yang masih di atas baik baik saja.
Kalau orang orang paling sebal sama tanjakan Pancot, saya justru tersiksa di tanjakan setelah WS Segara Gunung, asli, itu tanjakan kayak gak ada habisnya di tengah hutan dan berlapis-lapis. Pokoknya pas jalan ditanjakan itu, gak berani liat ke depan. Kayaknya hutan ini abis kena angin kencang, daun-daun & ranting kecil berserakan sepanjang jalur. Agak was was kalau ada pohon tumbang.
Setelah WS Segoro Gunung (titik merah) adalah tanjakan panjang melintasi hutan yang cukup menguras energi |
Oh ya grafik elevasi di BIB nya terlalu landai, saya jadi kesulitan bedain tanjakan curam sama landai, tahun lalu padahal bagus, tajem tajem |
Tanjakan jalan beton ke arah Paralayang Kemuning |
Tanjakan di kebun teh ini bikin emosi hahaha |
Pemandangan kebun teh di Kemuning |
Setelah melewati tanjakan Pancot yang terkenal itu, ada WS Pancot, yang merupakan WS terakhir. Saya skip, karena logistik masih aman, perut masih kenyang dan air di water bladder masih banyak. 2 km selanjutnya sampailah di kawasan Sekipan. Suasana masih dalam kondisi hujan. Entah energi darimana saya masih mampu berlari sampai finish.
mendekati WS Pancot |
17.48 saya sampai di garis finish, telat 11 menit dari target yang saya buat, but its okay, jalur Cetho yang ra cetho bisa dimaafkan 🤣 pokoknya puas sekali lah dengan kaki ini.
Akhirnya finish juga dengan kaos Rinjani100 merah. Outfit dari start sama finish sama persis. Kaki no blister, mantap emang kaos kaki PDL TNI yang merk Target |
Terima kasih Mas Dedi, trail mate dari Puncak Lawu ke garis finish |
My Result |
Saya finisih di urutan 39 dari 700an peserta kategori 50 km, not bad lah |
Bagi yang ikut SLU, mandatory gear perlu banget kalian persiapkan. Karena waktu penyelenggaraannya di bulan Desember pasti risiko kena hujannya lebih tinggi dibanding dengan bulan-bulan lain. Yang tau kondisi tubuh kita adalah kita sendiri yang bisa merasakannya. Walaupun SLU berhak untuk stop race bahkan cancel race saat acara berlangsung, jangan sungkan untuk DNF jika dirasa kondisi tubuh sudah tidak mampu.
Membandingkan pose di tempat yang sama, putih kiri SLU 80 km tahun 2023, kanan 2024. Pantes kemarin rada engap ternyata agak gemukan |
Cuaca tahun 2024 memang lebih ekstrim dibandingkan tahun 2022 dan 2023. Bahkan yang finish di kategori 120 km punya hanya 6 orang dan semuanya laki-laki. SLU 50 km ini saya jadikan latihan untuk menghadapi Rinjani100 di bulan Mei 2025.
Gear :
- Kaos : Tentu saja jersey Rinjani100 merah menyala
- Kaos kaki : Kaos Kaki PDL TNI merk Target
- Jam tangan : jam tangan bentuk robot bocah gak tau merknya apa, enteng banget di tangan
- Track pole : GAK PAKE, full 2WD alias cuma pake kaki doang
- Sepatu : Hoka Speedgoat 5
- Vest : Aonijie
- Waterbladder 2 liter
- Track recorder : Strava
- Makanan - minuman : isotonik, kalau makanan realfood doang, soto, kacang ijo, klepon, pisang, semangka, jeruk
Terima kasih juga buat sate Tawanmangu Pak Pur yang bikin saya nambah 2 kali, carboloading terbaik dahCAPEK ITU APA |