Pernah Kena Acute Mountain Sickness (AMS)? Yes Pas BTS Ultra

Pemberitaan tentang dua pendaki yang meninggal dunia di Gunung Cartenz mengingatkan saya kejadian 6 tahun lalu saat ikut Bromo Tengger Semeru (BTS) Ultra 2019 kategori 100 km. BTS 2019 adalah kedua kalinya saya ikut even lari dengan jarak 100 km. Saat itu saya masih kerja di Lombok.

Sabana Jemplang,

Apa yang saya rasakan saat itu bener bener campur aduk. Mulai keberangkatan dari Lombok sampai ke venue di Cemoro Lawang dilakukan dalam waktu satu hari, berangkat pagi sampai sore, dan start di tengah malam. Ini yang bikin kepala agak pusing, badan meriang, nafas agak sesak, ditambah perasaan grogi dan cemas, bisa gak ya finish under COT 😅. 

Race Course awal, 102 km, 4840 meter elevation gain, lalu buyar gara gara kebakaran hutan 👀

Dari Lombok saya naik pesawat turun di Bandara Juanda. Dari langit, Ijen, Baluran, Argopuro dan Bromo kompak kebakaran 🥲. Sampai Surabaya, lanjut naik kereta ke Probolinggo. Di Probolinggo saya naik ojek ke Cemoro Lawang. Saya jadi kenal sama Mas Hafiz, driver gojek yang ngebantu antar saya ke venue. Mas Hafiz dan temannya ikut ngawal saya. Di Cemoro Lawang saya sampai sore hari.  Saya numpang istirahat di sebuah penginapan, tempat teman-teman Runjani menginap (komunitas lari di Lombok).

Thanks Citilink, Lombok - Surabaya gratis karena menang lomba video

Sampai di Stasiun Probolinggo, kayaknya banyak bule juga peserta BTS

lanjut motoran ke Cemoro Lawang, naik Ninjanya Mas Hafidz pula 👀

Btw, lokasi venue yang ada di Cemoro Lawang ini kayaknya titik start paling tinggi acara trail yang pernah saya ikutin, 2.200 mdpl.

Badan masih dalam kondisi capek banget, dari Probolinggo yang berada di pesisir, langsung ngegas ke Cemoro Lawang dengan ketinggian 2.200 mdpl naik motor, membuat rasa pusing di kepala makin menjadi.
Apalagi ditambah info perubahan rute akibat kebakaran hebat di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang membuat rute ke Ranu Kumbolo ditutup. Yaaaah padahal gong nya ikut BTS ini kan pengen ke Ranu Kumbolo.

Here's an update regarding the latest condition of Mount Semeru. The Bromo Tengger Semeru National Park has closed its entrance access. due to the spreading forest fire. The burning area is part of the race route for the 70K, 102K, 170K courses. We are now considering the best option, which is the possibility of reroute. Let us hope and pray together for the condition to get better before the race takes place. Final decision will be made prior to the race day.

Rute kategori 70, 100, 170 km dibuat memutar kaldera sebanyak dua kali, termasuk melewati Bukit B29 yang terjal itu. Hahahaah, makin dah over thinking. 

sampe venue udah gelap, langsung ambil racepack

Badan mulai agak demam, saya manfaatkan waktu dari jam 19 ke 23 untuk beristirahat. Dengan cara relaksasi, "menghitung domba", dan membuat "drama sinetron" dalam pikiran, akhirnya saya bisa tidur lelap.

Jam 23, Bang Rudy Runjani membangunkan saya. Saya langsung pakai outfit plus mandatory gear, dan pamitan ke teman-teman Runjani karena saya satu satunya peserta kategori 100 dari Lombok. 

Jarak dari penginapan ke titik start lumayan jauh, sekitar 1 km. Kondisi badan sudah mulai fit, pusing dan demam lenyap, alhamdulillah. Andaikata kondisi badan makin memburuk, saya rencana pilih tidak start, karena jarak 100 km mengitari kaldera Bromo tentu sangat berat.

Mandatory gear, yang self adhesive elasticated saya bawa perban 😅

Saya sempat minder dengan outfit pelari lain yang wuah wuah. Sambil nunggu waktu start, saya duduk di teras depans ebuah rumah, tetiba ada satu pelari dari Surabaya ikut duduk di sebelah saya. Basa basi perkenalan, lalu dia nanya 

"Mas, itu vest sepeda ya?" ðŸ˜…
"Hahaha iya mas"
"Mantap"
Saya dan vest 'sepeda' penuh kenangan, wkwkwkkw

23 menit menjelang start

Akhirnya start di mulai tepat jam 00.00. Pelari berhamburan menuju B29. Cahaya lampu pelari mewarnai gelapnya lautan pasir Bromo. Epic.

Setelah lautan pasir yang datar, saatnya menghadapi tanjakan ekstrem Bukit B29. Bukit ini sebenarnya adalah dinding kaldera Bromo yang menjulang 500 meter. Untungnya jalur pendakiannya zigzag, sehingga lumayan meringankan gradien walaupun jalur terasa lebih panjang. Sebelumnya saya sudah tau info bahwa sebisa mungkin lari sesegera mungkin ketika start supaya tidak terjebak antrian di B29.

Benar saja, ketika saya menoleh ke belakang, antrian pelari lumayan panjang 😆 Untung saja saya ada di bagian awal. Oh ya ketika ada di B29, saya mengalami insiden. Mata saya kecolok track pole pelari yang ada di depan saya. Perih euy, untung gak kena bola mata.
tanjakan B29 saat malam hari, padat merayap

Setelah menggapai B29 selanjutnya adalah menuju Ranupani. Jalurnya gak ngotak, jalan setapak yang tengahnya cekung bekas roda motor trail. Kalau gak hati-hati ankle bisa kena ini. Jalur ini lumayan datar, so saya bisa lari-lari sampai WS Ranupani. 
WS Ranupani

Nah sampai Ranupani, ini ada rasa nyesek gak lewat jalur ke Ranu Kumbolo. Shiiiit napa harus pake kebakaran sih.

Saya mencoba membangun ingatan yang udah pudar ya, kenangan 6 tahun silam. Ada jalur yang melewati semak belukar, dan banyak orang tersesat, Percabangan jalurnya sangat tajam, saya langsung pakai mode navigasi, buka HP, liat aplikasi Orux Map. 

Rute melewati perkebunan yang berliku liku mengikuti kontur bukit. Gambarannya saya bisa melihat pelari yang lebih cepat terpisah lembah. Intinya saya akan melewati jalur itu juga, tapi jauuuuuuuh.

Saya memasuki bagian terindah dari jalur BTS, yaitu Jemplang. Sabana rumput yang menguning menghampar indah, sepertinya bagian ini aman dari kebakaran. 

Kawasan Jemplang

Sabana Jemplang


melintasi bekas rumput yang terbakar

Saya kembali lagi menaiki Bukit B29, namun kali ini sangat sepi. Kayaknya cuma saya seorang aja. Apesnya, di antara B29 dan Jamplang hujan tiba-tiba turun. Saya yang memang gak tahan suhu dingin menggigil hebat, untung dimotivasi sama Pak Khairul, pelari dari Malaysia supaya tetap gerak. Hujan juga turun selama saya menyusuri lautan pasir. Tapi saya senang karena pasirnya menjadi padat dan bisa dilariin. 
Naik B29 yang kedua kali, sepiiiiii

Di Bukit B29 yang kedua kalinya saya bertemu dangan Pak Amin. Beliau berasal dari Malaysia. Pak Amin akhirnya menjadi teman lari saya sampai garis finish. 
Pak Amin dari Malaysia yang nantinya akan menjadi teman saya sampai finish

Agak mengherankan, di race day, cuaca menjadi lebih sejuk. Hujan lebat datang silih berganti. Saya kebagian hujan di jalur pasir dari Bromo sampai ke Penanjakan. Kontras banget sama beberapa hari sebelumnya yang kering parah, sampai bikin kebakaran di area Bromo dan gunung-gunung lain di Jawa Timur.
Kena hujan pas naik Gunung Bromo



kebakarannya sampai di area kaldera Bromo 😓

bahkan masih berasap dan kerasa agak panas

yang saya rindukan dari BTS 

Pak Amin benar benar sabar nemenin saya lari. Berkali kali saya bilang, Pak Amin jalan duluan aja. Tapi Pak Amin bales, Iwan jalan saya jalan, Iwan istirahat saya istirahat, tak apa (dengan logat melayunya). Pak Amin punya jam terbang ultra trail run yang jauh lebih banyak dari saya. Walau udah lebih senior, langkah dia stabil 🤣. Kelak saya banyak bertanya soal latihan ke beliau.

Di Penanjakan hujan turun sangat lebat. Karena lapar, saya dan Pak Amin beristirahat di sebuah warung dekat Penanjakan. Ternyata di sana ada beberapa pelari Malaysia juga yang sedang berteduh. Sementara Pak Amin ngobrol dengan mereka, saya tidur agak lama di sini 😅. Karena saya yakin bisa finish paling lambat 5 jam sebelum COT.

berteduh dari hujan lebat di Penanjakan

Selepas dari Penanjakan jalur selanjutnya adalah turun ke Seruni Point. Jalur turun ini adalah penghubung Pasuruan dengan Probolinggo tapi cuma jalur setapak. Jalur saluran limbah warung warung malah kalau menurut saya 🤣🤣

Di daerah perkebunan warga ada percabangan. Rute 100 km harusnya ke kiri, namun ada beberapa pelari yang bablas lurus ke arah finish line. Tapi kami biarkan karena saya dan Pak Amin sudah capek, wkwkwk. Sudah ga ada energi buat ngasih tau merekam 

Menjelang finish line, kami menjumpai pelari yang menerabas tadi turun. Jelas saja disuruh turun karena gelang terakhir ada di WS yang gak mereka lewati karena di bypass, hahaha.

Jam 1 saya finish, 25 jam. Kondisi gate finish sepi sekali. Tak lama, Pak Amin datang menyusul saya di finish line. 

Hasilnya melampaui target saya, finish sebelum ayam jantan berkokok. Semua itu berkat Rinjani. Beberapa minggu sebelum race saya memang intens mendaki ke Senaru, Sembalun, Timbanuh dan Kondo. Tentu saja mendaki dengan membawa beban tas supaya melatih endurance. Selain itu saya juga biasakan ngantor pakai sepeda. Sehari-hari saya malah gak pernah lari lebih dari 10 km apalagi 100 km wkwkkwwk. 

Namanya juga pelari hore, bisa finish saja udah seneng.
Soal WS iya rasanya gak semewah MSC atau bahkan Ijen, tapi saya gak ambil pusing, yang penting ada yang bisa ditelen buat ganjel perut. 
Soal Marka, sangat jelas, dan di setiap percabangan pasti ada marshall yang mengarahkan.
Soal Medali, tumben lari trail medalinya bagus, biasanya dempulan 😃

finish dalam kondisi 3S, sepi, sunyi, syahdu

thanks Pak Amin sudah menemani sampai finish

Sepatunya jebol, saya buang akhirnya

100km kedua saya

bangga jadi finisher BTS Ultra 100 km

Rute BTS menurut saya ga sebrutal Rinjani. Kategori 100 km malah lebih 'nyaman' daripada kategori 70 km. Yang 100 lebih longgar COTnya dari 70. Yang perlu diwaspadai dari BTS adalah trek pasirnya yang panjang sekali. Pasir yang masuk sampai ke sela sela kaki bisa jadi biang kerok blister. Bergerak dalam kondisi blister sangat gak nyaman dan bisa berujung cidera. Berkali kali saya berhenti buat bersihin kaki dari blister.
Free Ice Cream for Finishers

BTS 2019 juga diwarnai dengan insiden sportivitas. Beberapa pelari entah sengaja atau nggak, ngebypass jalur. Beberapa marshall saat itu juga ngasih info rute yg salah ke peserte. Mungkin ini dampak perubahan rute mendadak karena Bromo kebakaran. 

Komentar