Bung Karno aja terkesan, apalagi saya.
Jika Sumatera Utara punya Balige
Nusa Tenggara Timur Punya Rote
maka Sumatera Barat punya Koto Gadang
Tempat-tempat itu sama sama penghasil tokoh nasional. Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Rohana Kudus adalah beberapa tokoh yang lahir di sini. Tidak hanya era kemerdekaan, tokoh nasional yang menjabat di era modern ini pun masih banyak yang berasal dari Koto Gadang.
Saat mengunjungi Bukittinggi, saya menyempatkan diri lari 10 km mengitari Kotogadang. Sore hari, dalam suasana mendung, gerimis dan akhirnya hujan, saya berhasil menyelesaikan 10 km. Adapun rutenya dari kota Bukittinggi - Koto Gadang - Sianok dan kembali lagi ke Bukittinggi.
Saya melewati beberapa spot iconiknya Bukittinggi. Yang pertama adalah Goa Jepang. Loket masuk tempat ini berada persis di tepi jalan raya.
| Goa Jepang |
Selanjutnya adalah jembatan Ngarai Sianok. Akses menuju sini tampak ga meyakinkan ๐คฃ. Banyak semak dan sampah. Bahkan saya sampai harus bertanya ke pemilik rumah yang ada dekat situ. Ternyata memang ini jalurnya.
| Jalur setapak ke 'tembok cina' yang tidak terawat |
| Jalur pavingnya licin karena berlumut |
Jalanannya tampak gak kerawat dan licin. Pasti udah jarang orang yang lewat kesini. Saya melangkah dengan hati hati karena memang masih dalam kondisi gerimis sehingga makin licin.
| Ngarai Sianok |
Ada beberapa rumah Gadang yang berdiri di persawahan. Tebing tebing Ngarai Sianok tampak jelas.
| rumah gadang kemungkinan ini penginapan |
Jalur makin menurun ke bawah dan akhirnya bertemu sungai. Jembatan gantung terbuat dari baja menyambut saya. Awalnya saya antusias, tapi jembatan ini bergoyang kalau dipijak ๐คฃ lumayan horror eui.
| Jembatan Gantung Ngarai Sianok |
| Ngeri ngeri sedap |
Setelah melewati jembatan, saya melewati anak tangga seperti Tembok China. Ternyata Tembok China yang ada di Bukittinggi itu adalah shortcut Kota Bukittinggi ke Koto Gadang. Dari jembatan gantung tadi jalur tangga Tembok China ini menanjak.
| Tembok Cina |
Kondisi jalurnya sepi sekali cuma saya saja yang melintas. Berulang kali saya nengok belakang, takut ada binatang buas ๐คฃ. Maklum Tapir Sumatera masih bisa dijumpai di Ngarai Sianok. Ada Tapir pasti ada Harimau.
Sampai di akhir Tembok China ala ala ini, tugu Agus Salim menyambut saya. Jalur menuju Koto Gadang cenderung menurun. Rumah rumah tua khas era kolonial mulai tampak.
Di Koto Gadang justru jarang sekali ditemukan rumah gadang. Kebakaran besar di tahun 1880 melenyapkan sebagian besar rumah gadang khas suku Minangkabau. Rumah model kolonial inilah yang paling saya suka. Bentuknya unik dan terlihat mewah. Terlihat berkelas walau lintas zaman.
Sejak dulu Koto Gadang adalah penghasil cendekiawan. Orang orang di nagari ini memiliki antusias yang tinggi buat menuntut ilmu. Ketika banyak perantau Minang pergi untuk berdagang, orang di Koto Gadang lebih memilih buat belajar. Salah satu tujuan pendidikan perantau Koto Gadang di masa lalu adalah Stovia, sekolah kedokteran di Jakarta.
| Masjid Nurul Iman Koto Gadang, masjid ini pernah rusak parah pas gempa 2007 |
Sayangnya saya ga bisa lama lama di Koto Gadang karena hari mulai sore dan gerimis makin lebat. Oh ya saya melewati rumah kerajinan Amai Setia yang sudah eksis sejak 1915. Bangunannya besar dan cantik sekali. Koto Gadang juga terkenal dengan kerajinan perak.
| Rumah Kerajinan Amai Setia, megah |
| Kembali ke Bukittinggi melewati jalur yang berbeda. Ini turunan curam banget. Sepi dan banyak baruak ๐ |
| Akhirnya sampai juga di Bukittinggi, 10 km yang sangat menyenangkan walau diguyur hujan |
Setelah mengunjungi Koto Gadang, akhirnya saya sadar bahwa orang kota dilarang jumawa. Tempat yang sangat pelosok macam Koto Gadang saja banyak menghasilkan pembesar ini. Bukan hanya terpencil, lokasi tempat ini benar benar di tengah Sesar Semangko yang rawan gempa. So benar kata orang, hanya pendidikan yang mampu mengubah nasib seseorang. Koto Gadang telah membuktikan itu.

Komentar
Posting Komentar