Di tulisan ini saya katakan, Amfoang dikenal madunya yang manis, pemandangannya yang seindah surga dan kondisi jalannya yang mirip neraka.
Pemandangan matahari terbit dari Amfoang |
Pemandangan matahari terbenam dari Padang Sabana Lelogama |
Jarak antara Kupang ke Lelogama sekitar 110 km dan dapat ditempuh biasanya dalam waktu dua jam. Kondisi jalur 99% beraspal mulus. Hal ini tidak lepas dari proyek pembangunan Observatorium Antariksa Nasional Gunung Timau yang lokasinya tidak jauh dari Lelogama, sehingga dibangunlah jalan raya, untuk membuka keterisolasian Amfoang dari dunia luar.
Panorama 360 derajat kawasan padang sabana Lelogama
Sayangnya, jalur beraspal ini hanya dapat dinikmati sampai padang sabana Lelogama saja. Sementara, Lelogama - Gunung Timau kondisinya belum aspal. Bahkan proyek pembangunan jalan yang sampai saat ini masih berlangsung makin memperparah akses Lelogama - Fatumonas - Gunung Timau. Pekerjaan pengerukan jalan lama dan bukit membuat jalur tersebut berubah menjadi tanah, ketika musim hujan maka jadilah jalan berlumpur :').
Ketika melintasi kawasan padang sabana Lelogama, saya melihat pengendara sepeda motor dari arah berlawanan kondisinya cukup mengenaskan. Motor bagian bawahnya berbalut lumpur. Sebagian besar dari mereka menggunakan sepatu boat, sebagain lagi tanpa alas sepatu.
Saya yang saat itu menggunakan sepatu lari agak galau, apakah tetap pakai alas kaki atau lepas. Namun supaya tidak terjadi luka di kaki, saya memutuskan tetap mengenakan sepatu meskipun risikonya yaa,, kotor kena lumpur.
Yang seperti ini masih cincay lah |
Di jalanan berlumpur tersebut terdapat banyak bekas roda kendaraan. Berdasarkan pengalaman, lebih baik melintas di bekas roda kendaraan meskipun tergenang air, karena bagian itu pasti lebih padat dibandingkan dengan yang tidak ada bekas roda.
Nekat tidak melewati bekas roda, akibatnya motor saya nyangkut di lumpur :') |
Setelah melewati proyek pengerjaan jalan, kondisi jalur berangsur membaik. Jalur lama berupa pengerasan batu kerikil, masih bisa relatif dilewati dengan nyaman karena tidak bongkar. Awalnya saya berencana membangun tenda di dekat Observatorium Timau. Namun karena kondisi sudah mendekati malam, jarak yang masih jauh dan harus melewati hutan, akhirnya saya memutuskan bermalam di daerah Bitobi, tepatnya di sebuah bukit kecil bersebelahan dengan bukit salib. Jaraknya 8 km sebelum Gunung Timau. Di bukit tersebut terdapat pepohonan, cukup untuk membuat hammock sambil menikmati senja di sabana.
kira-kira beginilah bukit tempat saya bermalam. Keren kan :D |
Menikmati sore di Amfuang, di balik kabut sebenarnya ada Gunung Timau |
Menjelang malam, Gunung Timau mulai menampakan diri setelah tertutup awan |
Sayang sekali sore itu awan mendung menutupi Gunung Timau dan matahari sehingga sunset kali ini kurang maksimal pemandangannya. Namun saya beruntung pada malam hari langit cerah. Pemandangan bintang di langit sangat luar biasa. Wajar saja observatorium dibangun di sini karena memang hampir tidak ada sumber polusi cahaya. Cahaya lampu dari kota Kupang maupun Soe terhalang oleh perbukitan.
Pemandangan bintang di Amfoang |
Tengah malam, gerimis mulai turun. Suhu udara yang dingin membuat saya jadi cepat tertidur. Pukul 5 pagi saya bangun, langit masih gelap, untungnya cerah tanpa awan. Namun di ujung timur, ternyata masih ada gumpalan awan.
Sunrisenya kurang perfect niih
Di ufuk timur, masih ada gumpalan awan :'( |
Masak aer buat nyeduh kopi gaeees |
Walaupun gak cerah-cerah amat, pemandangannya tetep ajiiiib |
Panorama 360 derajat padang sabana Bitobi