Ampenan Joq Sape #6 : Kesunyian Semenanjung Sanggar

Sampai pada titik niat itu diuji, masih sanggup Wan?
Doro Tabe, mirip Gunung Bromo, lokasi di Kore, Kecamatan Sanggar

Ini adalah perjalanan paling jauh yang pernah saya lakukan pakai motor. Dengan pengetahuan soal motor yang hanya mengandalkan lewat Google, yaaa emang nekat sih.

Setelah menikmati Satonda 3 hari 2 malam, saya kembali melanjutkan perjalanan. Sayangnya, motor yang saya titip di Pelabuhan Barat ban belakangnya bocor. Hari ini tepat perayaan Idul Fitri. Saya mulai khawatir tidak ada tambal ban yang buka. Dengan kondisi ban tanpa angin, saya tetap mengendarai motor melalui jalan berbatu, berharap ada bengkel motor yang buka. Di persimpangan jalan aspal, saya bertanya ke salah satu warga di mana bengkel terdekat. Dia bilang ada setelah tanjakan.



Kira-kira 200 meter saya menemukan bengkel yang dimaksud. Ketika sedang memarkir motor, tiba-tiba ada suara memanggil saya. Astaga, ternyata ini rumahnya Bang Effendi, staf IT kantor saya. Rencananya memang saya ingin mampir kesini, karena sudah bilang beliau jauh-jauh hari. Tapi saya gak menyangka, bengkel ini rumahnya. Bang Effendi langsung menyuruh adik laki-lakinya mengganti ban dalam motor. Sambil menunggu saya menikmati hidangan tape dan minuman serta ngobrol-ngobrol dengan keluarga besarnya.

Setelah ban belakang beres, saya langsung pamitan, dan melanjutkan perjalanan menuju Bima melalui Kawinda Toi dan Kilo.

Ekspresi Tidak Meyakinkan Soal Pantura Tambora

Perjalanan menuju Bima tidak melalui Kota Dompu, melainkan menyusuri pantai utara Gunung Tambora dan pantai utara Gunung Doro Oromboha. Kondisi jalurnya pun masih simpang siur. Beberapa warga yang saya tanya mengatakan jalurnya baik, tapi dengan ekspresi yang tidak antusias. Sebagian besar mengatakan, sudah ada proyek pembangunan dan perbaikan jalan beberapa tahun silam. Mungkin karena inilah mereka berpikir, proyeknya sudah selesai dan kondisi jalannya mulus.

Baru saja selepas Calabai, tepatnya di Labuan Kenanga, saya sudah merasakan proyek pembangunan jalan yang belum selesai. Jalan tanah yang berdebu jika tertiup angin terasa sangat menyiksa. Selepas proyek, jalan kembali mulus beraspal.

Selepas Labuan Kenanga[/caption]

Papan penunjuk wisata yang menggoda iman, mampir gak ya[/caption]

Beberapa saat kemudian, setelah melewati Desa Oi Panihi, jalan aspal itu melebar, bahkan ada boulevard. Hahaha, keren nih pembangunan disini. Saya memasuki sebuah jalanan seperti kompleks perumahan yang banyak perempatan tapi hanya ada satu bangunan menyerupai pasar. Ternyata ini adalah Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) Tambora yang sudah dicanangkan sejak tahun 2005. Tapi walaupun judulnya KTM, tempat ini sepiiii sekali kayak kota mati. Ternyata proyek yang dibangun miliaran ini memang mangkrak.

Selepas Kawasan Terpadu Mandiri Tambora[/caption]

Foto di atas adalah ekspresi kekaguman saya merasakan jalanan yang lebar. Tapi ekspresi kekaguman itu berubah menjadi kecut, karena beberapa ratus meter, jalanan aspal yang mulus itu lenyap menjadi berbatu.

Baru beberapa puluh meter dari KTM Tambora, jalanan jadi rusak #masihmencobatersenyum

Walaupun jalanan rusak, tapi pemandangan yang ada dihadapan saya luar biasa indah. Gunung Tambora di sebelah kanan dan lautan di sebelah kiri. Suasana sangat sepi jarang saya berpas-pasan dengan warga, hanya ada beberapa bangunan rumah dari kayu tanpa penghuni. Sapi-sapi berkeliaran di ladang yang gersang.

Menjelang Desa Kawinda Toi saya melihat kerumunan warga. Ternyata mereka sedang berusaha menyeberang sungai karena tidak ada jembatan. Mereka adalah warga yang ingin berkunjung ke Air Terjun Bidadari yang lokasinya di hulu sungai. Saat itu kedalaman air hampir selutut orang dewasa. Di bantu beberapa warga akhirnya saya bisa menyeberangi sungai. Selepas sungai kondisi jalan beraspal mulus.

Dibantu menyeberangi Sungai Terima kasih, kita foto dulu[/caption]

Tidak beberapa lama, saya akhirnya sampai ke Desa Kawinda Toi. Kawinda Toi adalah jalur pendakian Gunung Tambora yang relatif baru. Konon katanya, pendakian melalui Kawinda Toi sangat keren. Karena melewati hutan, jurang dan sabana yang jarang ditemui di jalur pendakian Tambora yang lain. Sebenernya lebaran kali ini, saya memang berencana mendaki Tambora melalui jalur Kawinda Toi, sayangnya, tidak ada guide yang bersedia kalau waktunya lebaran.

Sampai jumpa lagi, mudah-mudahan Oktober 2019 kita bisa bertemu lagi ya dek

Di Desa Kawinda Toi saya sempat bertanya ke anak-anak yang main, apakah setelah ini jalurnya bagus atau jelek. Mereka saling bertatapan.

"Ada yang bagus ada yang jelek Om"

Mati dah, batin saya dalam hati. Sebenernya saya gak terlalu yakin sama kondisi motor Supra Fit ini. Tapi teman saya yang sangat paham dengan motor mengatkan, motor ini layak pakai kok. Cuma saya gak tau apakah yang dimaksud layak pakai itu juga berlaku untuk jalanan yang rusak. Hahaha. Tapi saya memang sudah menyiapkan kemungkinan terburuk andaikata tidak bisa melanjutkan perjalanan karena motor yang rusak.

Jalanan Yang Sunyi dan Ilusi Gunung Bromo

Saya akui jalur utara Gunung Tambora ini memang sangat indah. Walaupun rusak, tapi pemandangan yang ada di depan mata membuat jauhnya jarak jadi gak berasa.

di hadapan mata, kadang gunung kadang laut

Panas yang terik membuat saya agak melantur soal mudik, apalagi hari ini memang tepat dengan perayaan Idul Fitri. Lanturan itu berhenti ketika saya melihat gunung mirip Gunung Bromo di hadapan saya. Waaaw, apakah ini ilusi? Mengapa bisa ada Gunung Bromo di sini. Hahaha.

Wait, sejak kapan Gunung Bromo transmigrasi kesini?

Ternyata gunung yang di hadapan saya itu adalah Doro Tebe. Doro dalam bahasa setempat artinya gunung, sementara Tebe artinya wajan, jika kalian lihat dari Google Earth, Doro Tabe memang memiliki kawah yang ditumbuhi tanaman.



Doro Tabe merupakan salah satu dari 40an cindercone atau kepundan kecil yang tersebar di kawasan Gunung Tambora. Doro Tabe terletak di sebelah timur Gunung Tambora atau di antara Kawinda Toi dengan Piong.

Ajakan Basa Basi di Piong

Puas menikmati pemandangan Doro Tabe, saya melanjutkan perjalanan menuju Piong. Piong adalah salah satu jalur pendakian Gunung Tambora yang cukup populer. Jalur ini terkenal karena bisa dilalui oleh kendaraan bermotor.

Ketika saya berfoto di Gerbang Pendakian Piong, terdapat beberapa pengendara motor trail yang sepertinya akan naik gunung.

"Mas mau kemana?" tanya mereka

"Mau ke Bima Pak, Bapak mau naik gunung?"

"Iya, kamu mau ikut gak?"
"Pengen sih, tapi motor saya kayak begini (Supra Fit)"

Oh men, sempat sempatnya saya bisa tergiur.

"Bisa itu, jalanannya bisa dilewatin motor"

Hahahaha, kali ini saya nyubit pipi saya supaya sadar. 1000% saya nyatakan ajakan kalian basi wkwkwkk.

Gerbang pendakian Piong, maaf pak saya yakin ajakan anda basa basi, hahaha

Desa Piong dari kejauhan

Desa Piong

Gunung Oromboha, di baliknya terdapat Kota Bima

Semangat!! Satu Putaran Gunung Lagi
Selepas Desa Piong saya memasuki Kecamatan Sanggar. Di Sanggar terdapat pertigaan jalan, jika lurus ke Kota Bima melalui Kota Dompu, jika lurus ke Kota Bima juga tapi melewati Kilo, Sampungu, dan Soromandi mengelilingi Gunung Doro Oromboha dengan jarak yang lebih jauh dan kondisi jalur yang tidak begitu jelas.

Perjalanan di awali melalui Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu. Di sini saya disambut oleh keindahan Pantai Pasir Putih Mbuju.

memasuki Pantai Pasir Putih Mbuju di Kecamatan Kilo

memasuki Pantai Pasir Putih Mbuju di Kecamatan Kilo memasuki Pantai Pasir Putih Mbuju di Kecamatan Kilo[/caption]

Jalur ini agak lebih ramai dibandingkan dengan utara Tambora. Banyak pantai bagus di sini tempat warga berlibur menikmati hari raya Idul Fitri. Berbeda dengan kawasan pantai utara yang berpasir hitam, pantai di kawasan Kilo hingga Sampungu banyak yang berpasir putih.

Fenomena Cenglu alias bonceng bertiga marak di sini. Hati hati ya dek jangan ngebut2[/caption]

Pantai Rasta Kilo[/caption]

Tebing dengan Tulisan Rasta Kilo, tampak jalanan yang saya lewati barusan

Di daerah Kiwu saya mampir di salah satu warung untuk isi bensin dan jajan. Saya bertanya ke pemilik toko,

"Pak, kalau ke Bima berapa lama lagi ya? 2 jam kah?"

"Waaah, 2 jam an lah"
"Waduh, beneran pak? Kok cepat ya?"
"Jalanannya bagus, paling cuma agak macet di Kota Dompu"
"Saya gak lewat Dompu pak, saya lewatnya sana pak" nunjuk ke arah timur
"Wah, kenapa lewat sana, jalanannya banyak yang rusak"
"Astaga, beneran rusak ya"
"Malam paling sampai Kota Bima"
BUSET DAH

Masih Sanggup Wan? Lewat Dompu Aja Yaaa!!
Memang, jalan dari Sanggar sampai tempat saya jajan ini jalurnya bagus beraspal. Beberapa kilometer setelah melanjutkan perjalanan, ternyata kekhawatiran saya bener-bener terjadi. Jalur ini juga gak kalah nyusahin daripada jalur utara Tambora. Jalanan selepas daerah Kilo bukan lagi berkerikil, tapi berbedak. Entah kalau musim hujan bagaimana ceritanya. Sepi dan ada mungkin sekitar 1 jam, tanpa bertemu dengan manusia satu ekorpun. Yang membuatku tetap tenang adalah ada tiang listrik berkabel, berarti ada pemukiman, dimana? entahlah.

Jalanan di Sampungu kayak begini dan sepi :)

Jalanan jelek, terus beraspal, terus jelek lagi, terus beraspal lagi

Ketika sedang bersusah payah melintasi jalan tanah berkerikil di Sampungu saya ketemu sebuah mercusuar berwarna putih. Mercusuar ini bernama Rambu Suar Batu Besar. Artinya saat ini saya sedang berada di titik paling utara Semenanjung Doro Oromboha.

Ketemu Mercusuar Batu Besar di Sampungu, tandanya, saya sudah berada di titik paling utara semenanjung Doro Oromboha

Bahagia itu sederhana, bisa pas-pasan dengan manusia aja udah bisa membuat tersenyum

 
Di daerah Sampungu saya harus ekstra hati-hati, binatang ternak suka nyebrang seenaknya

Ternyata jalurnya tidak semuanya rusak. Tampak beberapa ruas jalan seperti baru di aspal, kelihatan mulus, lalu rusak lagi beberapa kilometer lagi, lalu beraspal lagi, begitu seterusnya. Untungnya, motor tetap fit. Saking rusaknya jalan, saya baru sadar kalau tenda yang saya bawa untuk kemah, jatuh, entah di mana.

Memasuki Soromandi, saya merasa lega, karena di kejauhan nampak semenanjung Ambalawi, artinya saya bisa melihat Kota Bima di seberang teluk. Jalanan pun beraspal sampai dengan Kota Bima.

Akhirnya, semenanjung Ambalawi keliatan

Di seberang teluk, ada daratan, Kota Bima ada di sebelah kanan[/caption]

Saya sampai di Kota Bima sekitar pukul 17.10. Saya mengisi perut di lesehan Pantai Kalaki sambil menikmati matahari terbenam.

Menikmati Matahari Terbenam di Pantai Kalaki

Jalur utara menuju Tambora dan Doro Oromboha memang indah dan menantang. Saran saya lebih baik melewati jalur ini ketika hari terang. Hindari musim hujan, karena jalan tanah pasti akan menjadi jalan lumpur yang menyusahkan. Pastikan kendaraan dalam kondisi fit dan cukup bahan bakar.