Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti, Yang Hancur Lebur, Akan Terobati, Banda Neira

Lirik lagu yang dinyanyikan Banda Neira tadi, sangat pas buat situasi Semenanjung Sanggar saat ini. Letusan dahsyat Gunung Tambora, yang melenyapkan beberapa kerajaan di lerengnya, memunculkan bentang alam unik, yang agak jarang ditemui di tempat lain. Lereng Tambora kini menjadi tempat yang sangat menarik untuk dikunjungi
Sangat bersyukur saya mengenal Om Iyus. Beliau adalah orang yang sangat paham tentang pariwisata di Nusa Tenggara Barat terutama Lombok. Om Iyus juga memiliki hobi yang sama, main drone. Jenis Drone yang kami pakai kebetulan sama, Dji Spark, sehingga kami bisa saling berbagi tips mengoperasikan drone mungil namun handal ini.
Pada cerita sebelumnya, saya menginap di rumah mertua Om Iyus di Kota Sumbawa. Mengingat rute hari ke 3 cukup panjang, target sampai Pulau Satonda di Dompu, saya minta ijin untuk berangkat setelah sahur sekitar jam 5.
Hari masih gelap, saya tancap gas menuju arah timur. Jalan nasional yang masih sepi ditambah udara yang sangat segar, membuatku sangat menikmati perjalanan. Matahari mulai menampakan diri dari perbukitan gersang khas nusa tenggara. Karena musim kemarau, suhu udara pagi terasa lebih dingin. Sayang sekali, saya lupa membawa sarung tangan, sehingga meskipun memakai jaket, tetap saja badan ini menggigil.
Memasuki kawasan Ai Paya, jalan raya mulai bersanding dengan laut. Pemandangan menjadi sangat indah karena cuaca sangat cerah. Tidak lama kemudian mulai nampak perbukitan yang ditanam ladang jagung yang menguning, pertanda sudah dipanen. Jalanan berkelok-kelok mengikuti alur teluk. Sempat kesal, sampai kapan kelokan ini berakhir :D karena bentukannya semua mirip.
Nanga Tumpu, Selamat Datang di Geopark Tambora
Setelah melalui puluhan kelokan ladang jagung yang keren tapi lama lama membosankan, akhirnya saya mulai melalui kawasan Nanga Tumpu. Nanga berarti sungai, sementara Tumpu adalah buntu, jadi Nanga Tumpu adalah sungai yang buntu. Tumpu adalah sebuah kawasan pegunungan yang menjadi gerbang menuju wilayah Dompu dan Bima. Tanjakan di jalur ini terkenal ekstrem. Teman-teman saya asal Sumbawa mengingatkan saya agar lebih berhati-hati di titik ini. Sudah begitu banyak cerita kelam, kendaraan yang berujung kecelakaan di wilayah ini. Nanga Tumpu di musim hujan rawan longsor, sementara kalau kemarau rawan kebakaran (terlihat dari rambu rambu yang terpasang) . Berdasarkan sumber di internet, di sekitar Nanga Tumpu ada makam kuno. Tapi saya gak berminat dateng :D
Ketika memasuki tanjakan kedua, saya baru sadar bbm di motor sudah satu garis. Akhirnya saya berbalik arah mencari perkampungan untuk mengisi bbm. Bahaya juga kalau bensin habis di Nanga Tumpu :D. Jangan sampai tragedi kehabisan bensin di Pusuk Sembalun terulang lagi.
Ternyata banyak pengendara yang berhenti di Nanga Tumpu karena pemandangannya memang keren. Dari Nanga Tumpu, kita bisa melihat keindahan Teluk Saleh, Pulau Moyo, dan pegunungan di Sumbawa.




Perjalanan dilanjutkan menuju Kecamatan Manggalewa, lokasi pertigaan Banggo berada. Pertigaan Banggo adalah percabangan menuju Bima ke arah kanan, dan Calabai ke arah kiri. Pulau Satonda tempat saya akan bermalam ada di Calabai. Bagian yang saya tunggu-tunggu adalah melewati kawasan Doro Ncanga, sabana yang sangat luas di lereng Tambora.
Doro Ncanga, Merasakan Suasana Afrika di Lereng Tambora
Tepat pukul 12 siang saya mulai memasuki kawasan Doro Ncanga, padang sabana yang terkenal dengan Festival Tambora. Saya dan mungkin banyak orang baru mengenal Doro Ncanga ketika padang sabana ini dijadikan tempat selebrasi Tambora Menyapa Dunia tahun 2015. Gunung Tambora memang benar-benar menyapa dunia 200 tahun silam. Gunung yang berada di Semenanjung Sanggar ini adalah 'tersangka' utama musim tanpa musim panas dan tahun kemiskinan di Eropa. Dampak beruntunnya adalah Napoleon kalah, dan beberapa kerajaan di kaki Gunung Tambora lenyap.
Doro Ncanga adalah salah satu produknya, tanpa letusan Tambora, mungkin saja padang sabana ini adalah hutan belantara. Awalnya saya agak biasa aja dengan Doro Ncanga, "apa sih bedanya sama sabana yang pernah saya lihat di Pulau Rote"


Ternyata Sabana di Doro Ncanga itu luas banget. Hewan ternak seperti kuda, kerbau, dan sapi juga melimpah ruah. Jalan raya akses menuju Calabai juga sudah hot mix, jadi kelihatan keren banget. Kalau cuaca cerah, Gunung Tambora berdiri dengan gagah di arah timur. Sementara di baratnya, Teluk Saleh dengan Pulau Moyonya terlihat jelas.
Melewati Doro Ncanga pada siang hari memang bukan ide yang bagus buat orang yang berpuasa. Saya berusaha menemukan bangunan untuk sekedar berteduh, tapi nihil. Memang ada semacam susunan kayu untuk duduk di bawah pohon. Tapi kondisi angin yang lumayan kencang membuat debu-debu berterbangan.
Akhirnya saya menemukan Base Camp Pendakian Tambora Jalur Doro Ncanga. Di sini saya menyempatkan diri beristirahat sambil menikmati pemandangan sabana dengan suasana yang lebih teduh. Di tulisan berikutnya, saya akan menceritakan nikmatnya merayakan Idul Fitri di kesunyian Satonda.
Komentar
Posting Komentar