Pariri Lema Bariri, pariri yang berarti menghimpun, memperbaiki, membangun, merawat secara kesinambungan, lema yang berarti agar, supaya, atau segera, bariri yang berarti baik, berguna, bermanfaat, sekaligus sempurna
![]() |
Pelabuhan Pototano, banyak yang mengatakan, pelabuhan ini salah satu yang terindah di Indonesia |
Saya dan hampir seluruh pegawai negara lainnya pasti agak galau. Pemerintah menetapkan Jumat, tanggal 31 Mei 2019 tetap sebagai hari kerja dan 1 Juni 2019 seluruh aparatur sipil negara (ASN) wajib mengikuti Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila (fyi, 30 Mei tanggal merah dan 1 Juni adalah hari Sabtu).
Andaikata hari kejepit ini hari libur tentu saja, para perantau dapat lebih awal pulang ke kampung halaman. Apalagi kebijakan upacara peringatan hari lahir Pancasila tersebut dapat dilaksanakan di mana saja.
Selesai upacara di kantor, saya langsung tancap gas ke Pelabuhan Kayangan yang merupakan penyeberangan menuju Pelabuhan Pototano, Pulau Sumbawa. Awalnya saya berpikir, pasti pelabuhan dipenuhi oleh pemudik yang sama-sama pergi setelah upacara. Tapi kondisi antrian masih tampak normal. Pegawai asal Sumbawa yang saya kenal rata-rata memilih waktu malam untuk mudik. Mungkin supaya lebih fit karena bisa menikmati makan minum dalam perjalanan.
Angin Timur Yang Sangat Bersahabat


Saya sempat melihat postingan Om Eka, teman ngedrone, yang meminta pemudik agar berhati-hati karena angin begitu kencang di Selat Alas. Bahkan Om Eka, ngasih tau kalau ada sekitar 7 motor yang jatuh di kapal feri akibat ganasnya ombak saat ia menyeberang di pagi. Untunglah, kondisi angin timur agak bersahabat pada saat saya menyeberang. Ombak di Selat Alas, masih tampak normal sama seperti kondisi penyeberangan yang pernah saya rasakan sebelumnya.
Yang membuat agak kesal, antrian sandar yang hampir mencapai 1 jam. Hal ini membuat rencana perjalanan menuju Maluk dan Kertasari harus ditunda. Pada pukul 16.30 WITA, akhirnya kapal bersandar di dermaga. Saya sempat menemui Mas Jaff, teman satu kampung yang lagi bertugas pengamanan di pelabuhan. Setelah itu saya langsung tancap gas menuju Bukit Mantar supaya tidak terlalu malam.
Senja Luar Biasa di Bukit Mantar
"Jalur ke Mantar, bagaimana kondisinya?"
"Beraspal kok tapi ya nanjak"
Ekspektasi saya jalurnya sudah bagus dan dapat dilalui dengan mudah. Tapi gak sepenuhnya benar. Di awal memang dari pertigaan Senteluk, jalurnya memang beraspal. Setelah beberapa tanjakan downgrade menjadi jalur cor semen, dan menjelang puncak kondisi jalurnya berbatu. Tidak hanya berbatu, tapi menanjak curam. Tidak terbayang kalau saya lewat jalur ini tengah malam.
Akhirnya saya bisa sampai lokasi paralayang Bukit Mantar. Titik ini merupakan tempat terbaik untuk menyaksikan matahari terbit maupun tenggelam dari Puncak Mantar. Di arah timur tampak semburat jingga dan Puncak Gunung Rinjani Pulau Lombok. Di hadapan mata terbentang kawasan Pototano dengan bukit-bukit cantiknya.


Di Puncak Mantar saya tidak sendiran. Ada rombongan anak muda dari Kota Sumbawa yang juga akan bermalam di Mantar, salah satu yang ku kenal adalah Basri. Basri dan teman-temannya mendirikan tenda yang disewa dari pengelola. Tarifnya sebesar Rp. 100.000 pertenda perhari. Jadi bagi kalian yang ingin menginap di Mantar tidak perlu khawatir.

Angin Mantar Menghempas Awan
Angin timur begitu terasa pada malam hari. Hembusan angin dari arah timur menghempas titik paralayang di Puncak Mantar yang memang tidak ada penghalang seperti pohon. Bagi yang membawa tenda, jangan lupa membawa pasak supaya tenda tidak bergeser. Meskipun cenderung menakutkan, angin timur ini juga sepertinya menghempas awan-awan yang dari sore tadi lumayan banyak. Akhirnya saya dapat mengabadikan galaksi Bimasakti yang terlihat jelas sepanjang malam.
Mantar Negeri di Atas Awan
Banyak yang menjuluki Mantar, Negeri di Atas Awan. Bukit ini sangat terkenal di Sumbawa Barat dan pernah dijadikan lokasi film Serdadu Kumbang. Saat membeli makanan untuk sahur di kampung yang berjarak 400 meter dari paralayang, saya melihat rumah warga yang berbentuk panggung. Saya agak terkejut karena berpikir rumah panggung biasa dibangun di daerah rawa-rawa atau tepi pantai. Saat gempa melanda Nusa Tenggara Barat setahun lalu, hampir tidak ada bangunan yang rusak di Mantar, salah satu alasannya karena bentuk rumah panggung dari kayu yang memang tahan gempa.
Setelah tidur dalam kondisi berangin, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Matarahari terbit istimewa di Mantar. Selain Pulau Kenawa, lokasi melihat matahari terbit yang terbaik di Sumbawa Barat memang di mantar. Ketika Matahari pagi muncul dari perbukitan, posisinya sejajar dengan Puncak Mantar sehingga terlihat sangat epic.


Jalanan Fotogenik di Bukit Galau
Setelah menikmati matahari terbit, saya langsung bergegas menuju Kabupaten Sumbawa. Jalur turun dari Mantar tidak kalah mendebarkan. Motor saya sempat tergelincir tapi untungnya tidak sampai jatuh.
Perjalanan ke Kabupaten Sumbawa kali ini tidak melewati Pototano. Di pertigaan jalan (koordinat -8.5745101,116.849444) saya berbelok kanan. Kondisi jalur sangat mulus dan sepi. Di Bukit Galau saya berhenti untuk mengambil gambar dan video aerial. Bukit ini sangat indah, jalan yang berliku melewati bukit dan perkebunan jagung.


Terima kasih Sumbawa Barat telah mengawali perjalanan pembuka Ampenan Joq Sape dengan indah. Sampai bertemu 7 hari lagi.