Bukan Tentang Medali, tapi harus menyelesaikan apa yang telah dipilih

Malam Tanpa Mimpi
Hujan malam minggu di Mataram makin membuat saya galau. Maklum, sudah seminggu ini jam biologis saya rada ngawur. Hampir tiap hari telat masuk kantor karena selalu bangun jam 7 pagi. Start Full Marathon yang saya ikuti dimulai jam 5 pagi. Bagaimana baiknya saya menghabiskan malam ini? Untungnya Mas Arif ngajak tidur di musholla kantornya (RS TNI AD) yang lokasinya dekat dengan titik finish Lombok Marathon 2017, sekalian tempat buat nitip motor.

Akhirnya saya dan Mas Arif mengulangi kejadian yang sama saat Mekaki Marathon, Malam Tanpa Mimpi. Karena memang kami gak bisa tidur sama sekali (kebanyakan ngobrol, hahha). Jam 4, kami berangkat menumpang ambulan RS TNI AD yang diperbantukan sebagai kendaraan tim kesehatan Lombok Marathon. BTW garis start dan finish kategori Full Marathon beda lokasi, start di Senggigi, finish di halaman Kantor Gubernur NTB. Tiba di Senggigi, suasana lumayan ramai. Banyak pelari yang sudah mulai pemanasan. Sementara kita berdua cuma tidur ayam di matras ambulan.
24 Km yang tidak terasa
Tepat jam 5, race FM dimulai. Sejak KM 0 di kegelapan Senggigi sampai pagi yang sejuk menjelang KM 24 di kawasan Lingkar Selatan Mataram, nyaris gak ada masalah dengan kondisi kaki. Bahkan, kayaknya ini 24 km paling gak terasa yang pernah saya lariin, 2 jam 30 menit.

Masalah mulai muncul ketika masuk ke KM 25, kaki kiri mulai kaku. Semakin lari diperlambat, otot makin terasa ketarik. Welcome My Kram. OK masih bisa nahan. 1 km kemudian kaki kanan ikut-ikutan dan lebih parah. Begitu berhenti buat benerin tali sepatu, otot betis berdenyut denyut dan ketarik membuat telapak kaki maksa jadi posisi jinjit. Karena waktu COT masih lama, 2,5 jam dari 7 jam, saya coba lari-lari kecil diselingi jalan.
Sedang asik-asiknya jalan di kawasan RSU Provinsi, tiba tiba saya dikejutkan suara dari belakang “EEE NAPA KOK JALAN”. Saya pikir emak-emak yang ngomelin, ternyata salah satu pelari cewek senior yang juga ikut FM. Beliau yang abis cedera pasca naik gunung, berbaik hati lari bareng saya. Di Jalan Brawijaya yang agak menanjak, kami berdua memutuskan jalan sambil mengumpulkan energi. Kram di kaki sudah gak terlalu terasa. Kami lari-lari kecil sampai di perempatan Swetha.
Kram Makin Menjadi
Di perempatan Swetha kami berpisah, saya mempersilakan beliau lari duluan sementara saya masih ngurusin kedua betis yang kondisinya mirip jantung, berdenyut-denyut. Makin banyak pelari yang nyalip saya, bahkan mbak-mbak imut yang sering saya lihat lari di kawasan Udayana juga nyalip saya. Di kawasan Pertokoan Cakranegara, denyut-denyut kram makin menjadi. Hampir setiap polisi yang berada di persimpangan pemukiman Hindu saya minta tolong untuk membantu menarik ujung telapak kaki.
Penghitung yang Panik
Di kawasan Mal Epicentrum saya lihat waktu menunjukan pukul 10.30 WITA. Masih ada kurang lebih 7 km lagi. Dalam kondisi waras, seharusnya jarak segitu bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan berjalan kaki cepat. Tapi dalam kondisi kram, capek, dan panas, membayangkan kemungkinan bisa sampai garis finish sebelum batas COT itu kecil.
Di depan Universitas Mataram, kondisi kaki kembali mirip saat berada di pertokoan Cakranegara. Bedanya, kali ini gak banyak polisi bertugas. Ada polisi pun malah bertanya ke saya “Mas, masih ada lagi gak peserta di belakang?” shiiit, petugasnya malah demotivasi begitu hahha, sebegitu leletkah saya. Saya jawab saja “Masih banyak banget pak”. Biar sama-sama KZL.
Di Water Station kawasan gereja Katolik Ampenan, saya mencoba bertanya (ngetes sih) ke salah satu penjaganya “Mas kira-kira, kalau saya jalan begini bisa nyampai Kantor Gubernur sebelum COT gak ya?” malah di jawab “gak keburu mas” Shiiit.
Di perputaran Full Marathon kawasan Malomba, kaki saya kembali mengalami kram hebat. Saya minta bantuan ke penjaga putaran tersebut menekuk telapak kaki supaya rasa nyerinya reda. Nah mereka inilah yang menyemangati saya, “Pasti keburu kok mas, tinggal lurus aja 3 km”
Di Jalan Pejanggik saya melihat para peserta 5K, 10K, 21K dan bahkan FM 42K mulai pulang dengan mengalungkan medali masing-masing. Melihat saya dengan kondisi tertatih-tatih, mereka menyemangati saya.
Medali Yang Tidak Pernah Dikalungkan
Sampai di gerbang finish, kaki saya kembali kram hebat. Kedua betis berdenyut tidak karuan. Beruntung teman teman dari RIOT Lombok (Run is our therapy) membantu kaki saya dengan dikompres air es (saya sampai garis finish, panitia sudah mulai bubaran, termasuk tim medis). Teman RIOT tersebut mengarahkan saya ke panggung untuk mengambil medali.
Sampai di rumah, saya baru dapat info bahwa pelaksanaan Lombok Marathon kali ini kacau balau. Banyak peserta tidak dapat medali terutama yang ikut 5K & 10K padahal dijanjikan bahwa seluruh peserta akan dapat medali. Untungnya saya sampai gate finish, setelah ribut-ribut itu terjadi.
FM kali ini mengajarkan saya banyak hal, termasuk memenuhi hak tubuh, sebelum kita membebaninya dengan aktivitas yang berat. SAYA KAPOK BEGADANG SEBELUM RACE Apapun yang terjadi dengan carut marutnya pelaksanaan Lombok Marathon 2017, lari kali ini sangat-sangat berkesan dan membuahkan pengalaman berharga, bahwa tubuh harus ‘dimanjakan’ dengan istirahat, pemanasan dan gizi seimbang sebelum kita ajak ikut FM.
Apapun yang terjadi, Lombok adalah tempat terbaik buat berlari
