Iwaaaaan, ,,,,Main Yuk…!!

Rrrrrgggghhhhhh, Gemuruh pesawat terbang itu hinggap di sekitar rumah ku. Membangunkan aku dari tidur siang yang singkat. Hoaaam, baru  nyadar kalau aku sekarang sedang di rumah, bukan di kostan karena kamarku di sini ber-AC bukan ber- ASE (Angin SEmilir). Tak lama kemudian, aku dengar gerombolan anak kecil berlarian dan berteriak-teriak, waaah salah satunya ternyata adik ku yang sedang main Power Ranger an. Hummm jadi teringat masa kecil dulu.
apa bung masa kecil lo?

Yah mungkin seperti anak Jakarta pinggiran yang lain lah, sederhana gak neko-neko dan ngikutin ngetrend apa yang ada di TV. Kalau di TV lagi seru film Tamiya ya beli mobil Tamita, dan lain-lain. Tetapi permainan yang bikin aku kangen sama jaman cilikku (hehehe tema konser banget) itu main Taplak Meja. Aku selalu jadi pemenang kalau main permainan ini, hehehe sampai-sampai kalau permainan dilakukan secara berpasangan banyak dari teman-temanku yang pengen aku jadi pasangannya.

“Iwaaaan maeeen yuuuuu….!!”

Sepuluh tahun lalu suara anak-anak yang renyah itu sering sekali membangunkan tidur siangku. Hehehe sebagai anak rumahan atau anak mami yang tulen aku memang harus tidur siang, supaya kalau malam gak rewel dan bisa belajar. Biasanya kalau ketahuan ibu ku, dia akan bilang

“Iwannya belum bangun, nanti sore aja ya mainnya”

Karena suara-suara nyaring itu seperti alarm bagi ku, terkadang saat ibu ku berbicara demikian, aku sudah ada dibelakangnya dan anak-anak itupun berkata

“mamanya iwan tuh iwan udah bangun di belakang, weeee”

“eh kamu ngapain dah bangun, ya sudah, main sana, tapi hati-hati ya”

Ibuku menyerah terhadap keinginan polos anak-anak, dan aku pun berlari bersama teman-teman, memikirkan ide enaknya main apa. Biasanya disesuaikan juga sih, kalau orangnya banyak ya main Taplak Meja atau Petak Umpet (kalau banyak yang main kasihan sang penjaga Petak Umpet), tapi kalau orangnya sedikit, yah paling-paling jalan-jalan naik sepeda. Saat itu temanku banyak sekali, dan kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang selalu silih berganti tinggal di kontrakan sekitar rumah ku.

Akhirnya ketika semuanya pindah dan hanya tinggal orang-orang asli Betawi, kampung ini menjadi sepi, tanpa celoteh anak-anak. Aku akui saat-saat terakhir sebelum anak-anak disini menghilang, aku menarik diri dari teman-teman,  anak-anak saat itu sudah tidak lagi bergaul dengan sehat karena terjerumus oleh satu orang. Merokok, memalak, membuat keributan dan lain-lain. Padahal mereka sebetulnya baik-baik, kami mengaji bersama, sholat bersama, sering sahur bersama. Ternyata memang harus terjadi demikian.

Kini kampung ini diisi oleh generasi yang baru, lebih ceria dan lebih hangat. Semua orang tua masih memiliki kepedulian yang sangat besar. Kampung ini menjadi ramai, penuh canda dan tawa. Semoga akan selalu begitu…Amiin

Gubraaaak, huwaaaaaaaaaaaaaaa

Ternyata adikku jatuh dan  menangis kencang sekali, hehehehehehe udah dulu ya, kasian dia

Komentar

Posting Komentar