Kereta api Progo dari Jogja ke Jakarta yang saya naiki saat itu dalam kondisi penuh. Tapi belum ada penumpang yang duduk di alas gerbong sehingga pedagang masih berseliweran. Mulai dari minuman, makanan seperti pecel dan tahu, bahkan kerajinan yang terbuat dari kayu. Suasana memang seperti pasar saat itu.Dan setelah saya amati para pedagang tersebut tidak sekali saja lewat di gerbongku, melainkan mondar-mandir mirip setrikaan. Tapi orang-orang di sekitar saya belum ada yang membeli satupun barang yang dijual.
Rasa lapar datang menerjang (dari sebelum berangkat sih) untunglah ada penjual pecel yang lewat. Aku pun hanya membeli lontong 4 buah. Apesnya lontong yang aku beli itu ternyata gak ada isinya, gak seperti yang aku bayangkan isinya tempe atau ayam gitu. Fiuuuh, akibatnya mulutku tetep aja hambar. Kemudian ibu yang sebelahku ikut membeli pecel, lalu suami istri di depanku juga ikut membeli dan sekali lagi, orang yang ada di seberang tempat dudukku juga ikut membeli. Lho lho lho kok ikut-ikutan. Waaah laris bener si ibu, sampai dia bilang terima kasih ke aku, padahal dari tadi lumayan banyak pedagang pecel yang berseliweran, tapi kenapa ibu ini laris sekali ya? Apakah makanan ibu ini lebih enak dari pedagang-pedagang yang lain, padahal kami yang membeli pecel di ibu ini atau di pedagang yang lain sebelumnya tidak pernah tahu kualitas rasa pecelnya.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori pemasaran dan psikologi sosial. Tetapi karena saya bukan mahasiswa ekonomi, atau pengamat ekonomi
Sialan kau, jadi aku akan menganalis fenomena ini dengan penggunaan teori-teori psikologi sosial dan industri.
Di psikologi sosial kita mengenal adanya konformitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk ikut serta dalam kelompok (Baron dan Byrne, 2005). Tapi teori ini sepertinya kurang tepat karena yang menjadi pemicu utama orang-orang membeli pecel itu adalah aku, yang notabenenya hanya satu orang. Padahal dalam konfrmitas seseorang cenderung ingin ikut serta terhadap kelompok, bukan individu. Tetapi teori konformitas dapat digunakan pada orang terakhir yang membeli pecel, karena ia mengikuti kelompok (para penumpang termasuk aku) untuk membeli pecel. Mungkin kalau aku tidak berinisiatif membeli lontong, orang-orang yang di sekitarku juga gak ikut-ikutan beli pecel.
Kemudian fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui pendekatan psikologi industri dan organisasi terutama yang berkaitan dengan perilaku membeli. Banyak faktor seseorang membeli barang, baik dari segi kualitas, harga dan lain-lain. Kejadian di kereta tersebut menandakan adanya keragu-raguan konsumen dalam memilih makanan yang di jual oleh banyak pedagang entah masalah kualitas atau harga. Aku yakin mereka juga dalam kondisi kelaparan. Sehingga ketika aku berinisiatif membeli lontong kemungkinan mereka akan berpikir aman, bahwa ada satu orang yang membeli makanan sehingga keragu-raguan akan kualitas dan harga pecel tersebut mulai memudar, dan akhirnya mereka pun dengan yakin membeli pecel si ibu yang beruntung itu.
Memanfaatkan Massa untuk Memancing Massa
Dari kejadian di atas aku teringat peristiwa menarik juga di dekat Stasiun Bogor. Saat itu di lapak penjual barang elektronik dipenuhi oleh kerumunan massa, sang penjual dengan microphone-nya berorasi menawarkan barang daganganya. Terjadi dialog interaktif antara dia dengan kerumunan tersebut. Karena ramai sekali akupun tertarik untuk mendatangi lapak tersebut, kemudian salah seorang dari kerumunan tersebut mengatakan,
“barangnya murah lho dek TV cuma bla bla bla ba, radio segini, DVD player segitu, waah cepetan dek nanti keburu abis “
Hihihi karena duit yang ada di dompetku tinggal dikit, gak mungkin lah aku beli barang-barang begituan. lagipula di rumah dah banyak barang-barang begituan. Akupun berlalu. kemudian seorang tukang ojek bilang kepada ku
“Ngapain dek ke lapak itu, tau gak itu tuh penipuan”
“Weeks penipuan, maksudnya?”
“Orang-orang yang banyak itu temen-temennya si pedagang, barang elektroniknya sih emang murah tapi kualitasnya murahan, dua hari dipake juga rusak atau konslet”
“Jiaaah”
Wah ternyata menggunakan kerumunan massa bisa efektif juga untuk mendatangkan massa. Buktinya, aku yang cenderung cuek terhadap beragam penawaran aja bisa tertarik juga untuk mehampiri penjual meskipun cuma ngelongo aja.
Ide yang Bisa diambil
Gak cuma pedagang aja yang bisa memanfaatkan satu individu atau massa untuk mempengaruhi yang lain agar menarik perhatian apa yang akan dijual. Ketika sebagian besar penumpang bis memberikan uang ke pengamen, apakah anda juga punya keinginan untuk memberikan uang? Jika sebagian besar pengunjung Sunmor UGM memberikan uang ke pengemis apakah anda juga punya keinginan yang sama?
Tapi ide ini bukan untuk memberikan sesuatu kepada orang yang sebetulnya tidak pantas. Teman-teman misalnya ketika mengadakan kotak infaq atau sumbangan, bisa menggunakan massa untuk mempengaruhi orang lain agar ikut menyumbangkan sebagian hartanya. Caranya, orang-orang yang sebetulnya adalah bagian dari tim pelaksana kotak infaq atau sedekah berpura-pura memberikan uang ke dalam kotak sumbangan dan usahakan agar orang lain yang bukan bagian dari tim melihatnya. Ini bakal lebih efektif, karena ada kecenderungan seseorang ingin merasa baik. merasa benar, merasa dermawan seperti yang lain. Ternyata konformitas sosial itu gak sebetulnya buruk.
Ada yang ingin berkomentar? Soalnya aku ngetiknya juga lagi dalam kondisi kekenyangan bakpia, huaaaaaaaaam>>>
“kereta yang merakyat”
Rasa lapar datang menerjang (dari sebelum berangkat sih) untunglah ada penjual pecel yang lewat. Aku pun hanya membeli lontong 4 buah. Apesnya lontong yang aku beli itu ternyata gak ada isinya, gak seperti yang aku bayangkan isinya tempe atau ayam gitu. Fiuuuh, akibatnya mulutku tetep aja hambar. Kemudian ibu yang sebelahku ikut membeli pecel, lalu suami istri di depanku juga ikut membeli dan sekali lagi, orang yang ada di seberang tempat dudukku juga ikut membeli. Lho lho lho kok ikut-ikutan. Waaah laris bener si ibu, sampai dia bilang terima kasih ke aku, padahal dari tadi lumayan banyak pedagang pecel yang berseliweran, tapi kenapa ibu ini laris sekali ya? Apakah makanan ibu ini lebih enak dari pedagang-pedagang yang lain, padahal kami yang membeli pecel di ibu ini atau di pedagang yang lain sebelumnya tidak pernah tahu kualitas rasa pecelnya.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori pemasaran dan psikologi sosial. Tetapi karena saya bukan mahasiswa ekonomi, atau pengamat ekonomi
tetapi kehidupannya ekonomis, hehehehe
Sialan kau, jadi aku akan menganalis fenomena ini dengan penggunaan teori-teori psikologi sosial dan industri.
Di psikologi sosial kita mengenal adanya konformitas, yaitu kecenderungan seseorang untuk ikut serta dalam kelompok (Baron dan Byrne, 2005). Tapi teori ini sepertinya kurang tepat karena yang menjadi pemicu utama orang-orang membeli pecel itu adalah aku, yang notabenenya hanya satu orang. Padahal dalam konfrmitas seseorang cenderung ingin ikut serta terhadap kelompok, bukan individu. Tetapi teori konformitas dapat digunakan pada orang terakhir yang membeli pecel, karena ia mengikuti kelompok (para penumpang termasuk aku) untuk membeli pecel. Mungkin kalau aku tidak berinisiatif membeli lontong, orang-orang yang di sekitarku juga gak ikut-ikutan beli pecel.
Kemudian fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui pendekatan psikologi industri dan organisasi terutama yang berkaitan dengan perilaku membeli. Banyak faktor seseorang membeli barang, baik dari segi kualitas, harga dan lain-lain. Kejadian di kereta tersebut menandakan adanya keragu-raguan konsumen dalam memilih makanan yang di jual oleh banyak pedagang entah masalah kualitas atau harga. Aku yakin mereka juga dalam kondisi kelaparan. Sehingga ketika aku berinisiatif membeli lontong kemungkinan mereka akan berpikir aman, bahwa ada satu orang yang membeli makanan sehingga keragu-raguan akan kualitas dan harga pecel tersebut mulai memudar, dan akhirnya mereka pun dengan yakin membeli pecel si ibu yang beruntung itu.
Memanfaatkan Massa untuk Memancing Massa
Dari kejadian di atas aku teringat peristiwa menarik juga di dekat Stasiun Bogor. Saat itu di lapak penjual barang elektronik dipenuhi oleh kerumunan massa, sang penjual dengan microphone-nya berorasi menawarkan barang daganganya. Terjadi dialog interaktif antara dia dengan kerumunan tersebut. Karena ramai sekali akupun tertarik untuk mendatangi lapak tersebut, kemudian salah seorang dari kerumunan tersebut mengatakan,
“barangnya murah lho dek TV cuma bla bla bla ba, radio segini, DVD player segitu, waah cepetan dek nanti keburu abis “
Hihihi karena duit yang ada di dompetku tinggal dikit, gak mungkin lah aku beli barang-barang begituan. lagipula di rumah dah banyak barang-barang begituan. Akupun berlalu. kemudian seorang tukang ojek bilang kepada ku
“Ngapain dek ke lapak itu, tau gak itu tuh penipuan”
“Weeks penipuan, maksudnya?”
“Orang-orang yang banyak itu temen-temennya si pedagang, barang elektroniknya sih emang murah tapi kualitasnya murahan, dua hari dipake juga rusak atau konslet”
“Jiaaah”
Wah ternyata menggunakan kerumunan massa bisa efektif juga untuk mendatangkan massa. Buktinya, aku yang cenderung cuek terhadap beragam penawaran aja bisa tertarik juga untuk mehampiri penjual meskipun cuma ngelongo aja.
Ide yang Bisa diambil
Gak cuma pedagang aja yang bisa memanfaatkan satu individu atau massa untuk mempengaruhi yang lain agar menarik perhatian apa yang akan dijual. Ketika sebagian besar penumpang bis memberikan uang ke pengamen, apakah anda juga punya keinginan untuk memberikan uang? Jika sebagian besar pengunjung Sunmor UGM memberikan uang ke pengemis apakah anda juga punya keinginan yang sama?
Tapi ide ini bukan untuk memberikan sesuatu kepada orang yang sebetulnya tidak pantas. Teman-teman misalnya ketika mengadakan kotak infaq atau sumbangan, bisa menggunakan massa untuk mempengaruhi orang lain agar ikut menyumbangkan sebagian hartanya. Caranya, orang-orang yang sebetulnya adalah bagian dari tim pelaksana kotak infaq atau sedekah berpura-pura memberikan uang ke dalam kotak sumbangan dan usahakan agar orang lain yang bukan bagian dari tim melihatnya. Ini bakal lebih efektif, karena ada kecenderungan seseorang ingin merasa baik. merasa benar, merasa dermawan seperti yang lain. Ternyata konformitas sosial itu gak sebetulnya buruk.
Ada yang ingin berkomentar? Soalnya aku ngetiknya juga lagi dalam kondisi kekenyangan bakpia, huaaaaaaaaam>>>