KENAPA YA DENGAN MENWA SEKARANG INI

PVDC


Menwa, mendengar kata itu seluruh isi kampus berpikir, “owh UKM ‘satpam kampus’, yang kerjanya hanya jaga wisuda, jaga upacara mahasiswa baru” dan jaga lain-lain. Pasca reformasi (ketika anggaran untuk hankam termasuk menwa berkurang drastis) menwa sudah tidak lagi sejaya dulu. Menwa kini dalam posisi lemah dan tidak (terlalu) berdaya menghadapi euforia reformasi yang penuh dengan kebebasan (yang sulit bertanggung jawab). Jika posisi menwa dahulu penuh dengan nilai-nilai perjuangan yang cukup mengesankan seperti terlibat dalam pengiriman kontingen Pasukan Garuda yang dikirim ke beberapa negara berkonflik . Bahkan menwa UGM dulu mudah sekali diberi fasilitas oleh militer, seperti meminjam helikopter dan senjata untuk demonstrasi pada upacara penyambutan mahasiswa baru. Kini peran menwa cenderung seperti yang sudah disebutkan di atas.




Perlu dijadikan renungan nih



Resimen Mahasiswa atau menwa boleh dikatakan sebagai generasi penerus tentara pelajar. Peran tentara pelajar sendiri amatlah besar dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kala itu para pelajar sudah mampu bertempur melawan penjajah meskipun dalam suasana menuntut ilmu. Tak jarang mereka lebih memilih bertempur ketika pelajaran sedang berlangsung. Ketika dentuman meriam memekakan telinga, para siswa ini menggantikan penanya dengan senapan berhamburan keluar kelas dan siap menyerang penjajah yang hendak merebut bumi pertiwi dari rakyat Indonesia.




Owh dari buku Perjuangan Tentara Pelajar Kapten Marwoto itu yah



Pena dan senapan, dua benda itulah yang menjadi lambang menwa. Lambang pena yang berada di atas senapan menunjukan bahwa tugas utama seorang menwa adalah belajar. Bagaimanapun menwa adalah tetap seorang mahasiswa, warga sipil yang tugasnya adalah belajar untuk membangun negeri. Peran senjata dalam perjuangan telah digantikan dengan pena yang melambangkan ilmu. Namun, kenyataan terlihat lain.


Berdasarkan wawancara dengan beberapa teman satu Yudha saat Diksar, sebagian besar mengatakan bahwa sebelumnya mereka bercita-cita masuk TNI atau Polri namun gagal saat tes. Kemudian untuk mendapatkan pengalaman ilmu militer seperti menembak, merayap dan lain-lain, mereka menjadikan menwa sebagai kegiatan yang diikuti selama kuliah. Kemudian saya mengamati mereka selama diksar, hasilnya sangat memprihatinkan. Mereka tidak terlalu antusias dalam mendapatkan materi Diksar dalam kelas, kebanyakan mengantuk bahkan beberapa asyik mengobrol sendiri. Saya yakin mereka tidak memahami pelajaran dengan baik. Saya sempat malu sebagai mahasiswa, terutama ketika guru militer dan pelatih mengejek tingkah mahasiswa yang tidak ada bedanya dengan anak SD yang ribut di kelas pada saat pelajaran. Saya juga sempat mendengar, beberapa teman mengatakan “duuh kapan sih selesainya, BT ah” “ngapain sih lama banget nih pelatih, jam brapa ya selesainya?”. Inikah Menwa? Yang sejatinya adalah pelajar yang terpelajar? Menwa yang nantinya akan mendharmakan ilmunya kepada negara? Agaknya kami kurang memahami lambang Menwa (terutama pena dan senapan).


Kegiatan-kegiatan menwa di markas pun sebagian besar adalah latihan fisik dan beberapa keterampilan. Jarang sekali kegiatan akademik, seperti diskusi, belajar kelompok, maupun mengadakan atau mengikuti seminar. Yang patut saya syukuri adalah ketika Menwa UGM mengadakan seminar yang cukup berkualitas dengan tema “Republik Jogja”. Seminar ini bekerja sama antara Menwa UGM, Dinas Sosial, dan UGM sendiri.




Sayang sekali kamu jadi penjaga pintu saja



Terkadang saya membayangkan, teman-teman Menwa UGM duduk melingkar dengan seorang yudha sebagai pembicara. Agi dari jurusan Hubungan Internasional mempresentasikan materi mengenai keadaan geopolitik Indonesia. Kemudian Khibran dari jurusan Hukum mempresentasikan materi Hukum Militer di Indonesia. Lalu Ilham dari Geografi berbagi ilmu tentang kompas dan penggunaan peta. Dan Tyas dari Psikologi mungkin bisa menjelaskan tentang psikologi militer. Tentu itu akan membuat Menwa UGM menjadi semakin berbobot dan lebih dihargai, tidak sekedar dianggap sebagai ‘satpam kampus’ saja. Selain itu aktif di menwa juga dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan kompetensi diri. Sehingga ilmu yang selama ini kita dapatkan selama kuliah mampu berkontribusi terhadap Menwa.


Alhamdulillah ide aku ini mendapatkan respon yang sangat positif dari teman-teman Yudha XXXII Menwa UGM. Bahkan Khibran sempat mengeluarkan ide agar kegiatan ini dikolaborasikan dengan UKM lain. Agi juga dengan antusias langsung mengadakan diskusi perdana meski hanya diikuti oleh 3 orang yudha saja. Aku berharap semoga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, bahkan kalau perlu mendapat perhatian khusus dari komandan dan para alumni Menwa UGM.


Saya yakin suatu saat kampus akan dapat memandang menwa beberapa tingkat lebih baik, ketika mereka tahu, bahwa menwa unggul dalam prestasi dan kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Akhir kata saya berpesan kepada sobat Yudha XXXII Menwa UGM, untuk selalu belajar dan berlatih. Okeee. PVDC