Wah di saat yang lain asyik-asyik jalan-jalan menikmati Sunday morning (sunmor), aku harus ngumpul di Fakultas Ekonomi buat dateng di acaranya GC, untuk kumpul. Yang bikin agak malas kumpulan kali ini lama banget, jam setengah enam sore baru selesai. Karena udah kebiasaan kalo kumpul di GC selalu ngaret akhirnya aku dateng jam 08.15 (di jadwal dateng jam 08.15)
Tapi untungnya pertemuan ini ngaretnya gak terlalu lama. Acara pun di mulai dengan sambutan Mas Andrie (Presiden GC). Pidatonya tentang keGCan. Dan dari sini aku baru tahu, pendiri GC itu salah satunya dari anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Setelah itu ada persentasi dari mbak siapa gitu, yang pasti dia mahasiswa S2 Psikologi. Hehehe satu fakultas sama dia. Yang pasti dia mempresentasikan tentang organisasi. Saat itu kami membuat kelompok. Dimana setiap kelompok harus merumuskan mana yang lebih penting dari semboyan GC, kompeten, profesional atau kontributif. Di kelompok ku terjadi perdebatan yang sangat sengit, 4 dari enam orang menjawab kompeten, sementara aku dan seorang lagi menjawab profesional. Mengapa profesional? Bagiku profesional mencakup kompetensi dan kontribusi. Mana ada orang yang disebut profesional kalau nggak berkompeten atau berkontribusi.
Setelah itu kita dapat materi dari mas-mas, aku juga gak tau nama dia siapa. Yang pasti dia dah jadi Sarjana Psikologi (S.Psi)
Kita diberi materi mengenai potensi kita yang tidak terlihat yang jauh lebih besar dari potensi kita yang tidak terlihat. Materi ini awalnya diberikan di GSP
Udah gak usah rewel, jadi kita diibaratkan punya empat anggota tubuh yang sangat penting, yaitu mata, mulut, tangan, dan kaki. Kita sekelompok ada berenam, dan masing-masing anggota harus memilih dua anggota tubuh yang tetap dipakai, sementara anggota tubuh yang lain, akan dinonaktifkan untuk sementara waktu. Tiap kelompok harus berbeda-beda milihnya. Aku sendiri memilih mata dan tangan, berarti kaki aku di ikat dan mulut aku ditutup pakai slayer supaya nggak bisa bicara. Lalu mas-masnya berkata
“oke anggap kalian tentara palestine dengan kondisi yang demikian, silakan anda mencari tempat aman, yaitu Selasar Fakultas Ekonomi, dan ingat jangan gunakan anggota tubuh kalian yang tidak berfungsi”
Whaaat? Selasar FEB? Dari GSP ke FEB dengan kondisi kaki terikat?
Berarti aku harus cari anggota yang kakinya masih bisa digunakan. Ah ada satu orang. Dia matanya tertutup dan tangannya terikat. Dan akhirnya aku digendong dia dan aku berusaha sekuat tenaga buat mengarahkan dia. Karena mulut aku gak bisa bicara aku pakai tepukan. Jadi kalau belok kanan, aku nepuk bahu kanannya, kalau belok kiri nepuk bahu kiri, kalau berhenti nepuk kepalanya dan kalau berhenti nepuk lehernya.
Ternyata digendong itu cuapek banget, tangan aku pegel, leher aku lecet kegesek tali tas. Tapi dengan sekuat tenaga, aku berhasil mencapai depan gerbang FEB paling awal. Hehehehe agak maen curang dikit sih.
Disini aku berpikir, ternyata berat juga ya kaum difable itu. Bayangkan kita gak punya tangan. Bagi orang awam pasti menganggap berat. Tetapi dari keterbatasan itu ternyata muncul banyak sekali kreativitas dan akhirnya kreativitas itulah yang sebetulnya potensi kita. Banyak sekali kaum difable yang tetap survive, karena apa? Mereka kreatif dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup di tengah keterbatasan yang ada. Ternyata naif banget kalau hidup itu hanya digunakan untuk mengeluh, karena seharusnya kita yakin, setiap masalah pasti punya jalan keluarnya. Meskipun jalan keluar itu tidak mudah dicari, dan semua itu sekali bergantung pada kreativitas kita dalam memecahkan masalah.
“wah tumben nih ngaret, tapi gak bagus lho kalau keterusan, jangan diulangi lagi ya!”
Tapi untungnya pertemuan ini ngaretnya gak terlalu lama. Acara pun di mulai dengan sambutan Mas Andrie (Presiden GC). Pidatonya tentang keGCan. Dan dari sini aku baru tahu, pendiri GC itu salah satunya dari anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
“oow, pantes, GC jadi UKM Interdisipliner yang islami banget, good good”
Setelah itu ada persentasi dari mbak siapa gitu, yang pasti dia mahasiswa S2 Psikologi. Hehehe satu fakultas sama dia. Yang pasti dia mempresentasikan tentang organisasi. Saat itu kami membuat kelompok. Dimana setiap kelompok harus merumuskan mana yang lebih penting dari semboyan GC, kompeten, profesional atau kontributif. Di kelompok ku terjadi perdebatan yang sangat sengit, 4 dari enam orang menjawab kompeten, sementara aku dan seorang lagi menjawab profesional. Mengapa profesional? Bagiku profesional mencakup kompetensi dan kontribusi. Mana ada orang yang disebut profesional kalau nggak berkompeten atau berkontribusi.
Setelah itu kita dapat materi dari mas-mas, aku juga gak tau nama dia siapa. Yang pasti dia dah jadi Sarjana Psikologi (S.Psi)
“jayalah psikologi”
Kita diberi materi mengenai potensi kita yang tidak terlihat yang jauh lebih besar dari potensi kita yang tidak terlihat. Materi ini awalnya diberikan di GSP
“bingung gue??????”
Udah gak usah rewel, jadi kita diibaratkan punya empat anggota tubuh yang sangat penting, yaitu mata, mulut, tangan, dan kaki. Kita sekelompok ada berenam, dan masing-masing anggota harus memilih dua anggota tubuh yang tetap dipakai, sementara anggota tubuh yang lain, akan dinonaktifkan untuk sementara waktu. Tiap kelompok harus berbeda-beda milihnya. Aku sendiri memilih mata dan tangan, berarti kaki aku di ikat dan mulut aku ditutup pakai slayer supaya nggak bisa bicara. Lalu mas-masnya berkata
“oke anggap kalian tentara palestine dengan kondisi yang demikian, silakan anda mencari tempat aman, yaitu Selasar Fakultas Ekonomi, dan ingat jangan gunakan anggota tubuh kalian yang tidak berfungsi”
Whaaat? Selasar FEB? Dari GSP ke FEB dengan kondisi kaki terikat?
“pasti yang ada dipikirannya guling-guling. gak papa wan, itung-itung belajar gerper”
Berarti aku harus cari anggota yang kakinya masih bisa digunakan. Ah ada satu orang. Dia matanya tertutup dan tangannya terikat. Dan akhirnya aku digendong dia dan aku berusaha sekuat tenaga buat mengarahkan dia. Karena mulut aku gak bisa bicara aku pakai tepukan. Jadi kalau belok kanan, aku nepuk bahu kanannya, kalau belok kiri nepuk bahu kiri, kalau berhenti nepuk kepalanya dan kalau berhenti nepuk lehernya.
“usul bos, kalau jalannya supaya cepet, cubit aja pantatnya hahahahahahha”
[caption id="attachment_366" align="alignnone" width="225" caption="Hihihihi satu kelompok ma aku nih"][/caption]
Ternyata digendong itu cuapek banget, tangan aku pegel, leher aku lecet kegesek tali tas. Tapi dengan sekuat tenaga, aku berhasil mencapai depan gerbang FEB paling awal. Hehehehe agak maen curang dikit sih.
“dasar”
Disini aku berpikir, ternyata berat juga ya kaum difable itu. Bayangkan kita gak punya tangan. Bagi orang awam pasti menganggap berat. Tetapi dari keterbatasan itu ternyata muncul banyak sekali kreativitas dan akhirnya kreativitas itulah yang sebetulnya potensi kita. Banyak sekali kaum difable yang tetap survive, karena apa? Mereka kreatif dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup di tengah keterbatasan yang ada. Ternyata naif banget kalau hidup itu hanya digunakan untuk mengeluh, karena seharusnya kita yakin, setiap masalah pasti punya jalan keluarnya. Meskipun jalan keluar itu tidak mudah dicari, dan semua itu sekali bergantung pada kreativitas kita dalam memecahkan masalah.