Psikologi Menghalalkan Sesuatu yang Nyeleneh?

Di kelas psikologi sosial tadi ada pertanyaan yang menarik dari salah satu mahasiswi. Intinya begini:

"Pak kalau dalam psikologi kita harus objektif jangan menilai perbuatan orang itu positif atau negatif, berarti Pekerja Seks Komersial (PSK) itu bagi psikolog itu hal yang wajar dong pak karena ia melakukan hal tersebut lantaran ada latar belakangnya dan dapat di maklumi, berarti psikologi menghancurkan moral nih pak, gimana dong"

Sekali lagi itu intinya, bukan pertanyaanya, jadi misalnya Mbak Nadia membaca blog ini ya ndak usah marah. Oke, aku mau memberikan argumen aku sebagai mahasiswa psikologi.
"cuma mahasiswa kok bukan psikolog"

Ilmu dapat dikatakan ilmu apa bila ia memenuhi tiga hal. Salah satunya adalah dapat dibuktikan secara ilmiah. Psikologi dapat dikatakan sebagai ilmu karena bisa dibuktikan secara ilmiah yaitu perilaku. Bukan hal yang mudah menjadikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan. Awalnya, pengertian psikologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Jiwa itu dimana? Bentuknya seperti apa? Tentu ini menimbulkan masalah bagi ilmuwan yang mau meneliti tentang jiwa. Akhirnya Mbah Wundt (Bapak Psikologi) mendirikan sebuah laboratorium pertama psikologi di Leipzig, Jerman. Berawal dari sini pengertian psikologi mulai sedikit bergeser. Psikologi yang dulu dimaknai sebagai ilmu jiwa, kini menjadi ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental. Proses mental biasanya dimanisfestasikan dalam bentuk perilaku. Misalkan anda marah, lalu anda menggebrak meja. Nah marah itu proses mental sementara perilakunya adalah menggebrak meja.

Dalam mempelajari fenomena psikis, psikologi berusaha menggali sesuatu dibalik fenomena tersebut dengan metode ilmiah yang sistematis dan objektif. Ingat objektif itu apa?
"objektif  itu hmmm intinya objektif itu apa adanya"

Sip, objektif adalah apa adanya. Nah ketika seorang psikolog meneliti tentang perilaku PSK, maka UNTUK SEMENTARA WAKTU DALAM PENELITIANNYA ia harus melepaskan diri dari penilaian baik dan buruk tentang si PSK tersebut agar hasil penelitiannya objektif. Jika hasil penelitiannya objektif maka akan lebih tepat dalam mencari solusi-solusi dari permasalahan tersebut. Nih aku ceritakan penelitian psikolog tentang PSK yang nggak objektif

"ada seorang psikolog yang dalam penelitiannya terpengaruh oleh norma adat istiadatnya, bahwa PSK itu haram, menjijikan dan layak dibasmi karena menimbulkan kemaksiatan yang luar biasa. Akhirnya dalam laporan penelitiannya dia merekomendasikan kepada Dinas Sosial agar semua lokasi dipasang bom yang meledak pada malam hari, agar PSK bersama hidung loreng eh hidung belangnya ikut terbasmi"
"solusi yang aneh"

Nah itulah pentingnya sikap objektif dalam meneliti.

Masalah psikolog yang menghalalkan perilaku menyimpang seperti gay maupun lesbian itu tergantung di mana psikolog itu bekerja dan apa isi undang-undang kode etik yang dia pakai. Psikolog Indonesia yang memiliki klien seorang  Gay mungkin akan berkata:

"Tenang aja mas, perilaku gay dapat diubah melalui beberapa terapi, tapi yang terpenting adalah kemauan mas sendiri. Bukankah mas tidak mau dikucilkan dari masyarakat? Masyarakat pasti mengharapkan mas menjadi pribadi yang normal"
"kok psikolognya amatiran gitu sih?"

Namanya juga ilustrasi.

Nah Psikolog di Amerika yang memiliki klien seorang gay juga mungkin akan berkata:

"kenapa mas stress, bimbang, dan putus asa? negara tidak akan mendiskriminasikan anda sebagai orang yang mengalami penyakit jiwa karena tidak ada undang-undang yang melarang gay. sudah banyak orang-orang seperti mas di negara ini, dan mereka menikmati hidupnya dengan pasangannya?"

Nah jadi masalah kinerja psikolog, sekali lagi psikolog yang profesional harus mampu memahami permasalahan-permasalahan kliennya dengan memperhatikan kode etik serta norma-norma dimana kliennya itu tinggal. Kode etik biasanya selalu diselaraskan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana kode etik itu dibuat.

Anda mau berkomentar? Silakan